“Aku akan selalu ada di samping kamu. Ketika kamu
mempunyai masalahpun, aku akan jadi orang yang selalu memelukmu dan menemanimu
dalam menyelesaikan itu.”
Itu adalah kata-katanya ketika dia
mengungkapkan perasaannya padaku hampir 1 tahun yang lalu. Dan ketika itu kami
sepakat untuk menjalin hubungan. Selama ini kami tidak pernah memiliki masalah
sedikitpun, tak ada yang salah diantara kami. Dan tak ada pertengkaran
sedikitpun. Kini hubungan kami tidak seperti itu lagi, satu menit yang lalo aku
melihatnya di sebuah kafe bersama wanita lain, berpelukan dengan mesranya
dihadapan orang-orang. Dan saat ini, aku sedang berdiri di hadapannya,
melihatnya memeluk wanita lain.
“Ta..sya..”Andhika terlihat kaget dan dengan
buru-buru melepaskan pelukannya.
“Hey, Dhika.” aku melambaikan tangan.
“Tasya, lagi apa disini?” tanyanya ragu-ragu.
“Nyapa kamu aja sih. Sama siapa nih?” aku
mengerlingkan mata.
“Oh iya, ini Gyska. Gys, ini Natasya.” Dengan
sedikit canggung Andhika mengenalkan Gyska.
“Hey, Gys. Dhika, aku duluan ya. Maaf aku
ganggu barusan. Silahkan lanjutkan lagi.” Aku berlalo sambil melambaikan
tangan.
Aku kembali melanjutkan perjalanan pulang
kuliahku yang tertunda. Kampusku memang dekat dari rumah, cukup berjalan 20
menit. Aku masuk ke dalam rumah tanpa menyapa mama yang sedang duduk di ruang
keluarga sambil menonton televisi. Aku menyimpan tasku di meja belajarku dan
aku berdiri di depan cermin besar seukuran 1 meter di samping tempat tidurku.
“Apa yang salah denganku? Kenapa Andhika
berbuat seperti itu di belakangku? Apa aku seorang wanita yang buruk? Apa aku
tidak cantik?”
Aku hanya bisa diam melihat pantulan
bayanganku di dalam cermin itu. Aku meraba pantulan bayanganku. Rasanya saat
ini aku merasa sedih tapi sayangnya air mataku tidak mengijinkanku untuk
menangis.
“Kenapa kamu?” lagi-lagi suara ini, suara
seseorang yang tidak aku ketahui keberadaannya. Suara yang aku cari selama satu
minggu terakhir ini. Suara yang selalu muncul tiba-tiba di saat yang tidak
tepat.
“Lagi-lagi kamu. Siapa kamu sebenarnya?
Tunjukan keberadaanmu!”
“Gue tuh temen kamu saat ini. Gue ada di depan
kamu dan selalu di depan kamu.” Aku tidak mengerti dengan apa yang Dhikatakannya.
“Tidak ada siapapun disini. Hanya sebuah
cermin besar. Kamu hantu?”
“Enak saja kamu ngomong. Gue manusia juga.”
“Kalau kamu manusia, tunjukkan!”
“Kalau saat ini kamu ngga bisa lihat gue, itu
berarti memang bukan saatnya kita ketemu.”
“Aku tidak mengerti.”
“Biar saja untuk saat ini kamu tidak mengerti.
Karena lebih baik begitu.”
“Jadi apa tujuan kamu sebenarnya muncul
disini?”
“Ngga tahu.” Dia berdiam untuk sekian lama.
“Hey makhluk tak terlihat.” Aku memanggilnya.
“Apa?”
“Apa kamu dapat melihatku dengan jelas?”
“Iya, kenapa?”
“Apa aku cantik?”
“Hahahaha” dia tertawa terbahak-bahak dengan
sangat keras.
“Kenapa sih kamu? Kenapa kamu tertawa? Apa aku
segitu jeleknya sampai kamu tertawa terbahak-bahak seperti itu?”
“Kamu itu ya, apa kamu tidak pernah menyadarinya.
Lihatlah ke cerminmu yang besar itu, kamu itu cantik sekali. Putih, tinggi, dan
senyuman kamu itu yang paling cantik.” Aku kembali memerhatikan pantulan
bayanganku dan ada semu merah di pipiku ketika mengingat omongannya.
“Hey, jangan geer. Gue ngomong kayak itu karena kamu menanyakannya. Lagian gue cuma ngejawab pertanyaan kamu, bukan berniat memuji kamu.”
“Hey, jangan geer. Gue ngomong kayak itu karena kamu menanyakannya. Lagian gue cuma ngejawab pertanyaan kamu, bukan berniat memuji kamu.”
♫♫♫
Gue lihat wajahnya yang sedikit kecewa. Gue
emang ngga berpura-pura memujinya, hal itu emang kenyataan. Dia adalah seorang
wanita cantik dengan senyuman yang menawan. Sayang saat ini, wanita ini sedang
bermuram durja. Gue ngga tahu apa yang bisa membuatnya begitu sedih seperti
ini, mungkin karena seseorang telah melukai perasaannya. Rasanya ingin gue
peluk dia dengan erat dan melepaskan semua kesedihan yang tersirat dimatanya
itu.
Seminggu terakhir ini gue bisa melihatnya,
ketidaksengajaan yang benar-benar ngga masuk akal. Gue bisa melihat ke arahnya
sedangkan dia ngga. Kejadian ini bermula ketika pertengkaran di antara gue dan
ayah memuncak. Saat itu gue beradu mulut dengan ayah dan kalau saja Ibu ngga
menghalanginya, mungkin sudah terjadi kontak fisik diantara kami. Semua itu
terjadi karena gue yang memergoki perselingkuhan ayah. Gue benar-benar marah
saat itu dan hampir saja gue memecahkan cermin besar di dalam kamar tapi hal
anehpun terjadi. Gue melihatnya. Gue melihat wanita ini. Wanita yang saat ini
ada di hadapan gue sekarang.
“Hey kamu, makhluk yang tidak terlihat. Nama
kamu sebenarnya siapa?” Dia membuyarkan lamunanku.
“Nama? Rangga. Kamu siapa?”
“Aku, Natasya Herlambang. Panggil saja Tasya.”
Akhirnya kami berkenalan, nama yang cantik.
“Rangga, boleh Ibu masuk?” Gue bangkit dan
mendekati pintu, jangan sampai Ibu masuk dan melihatnya.
“Bentar, Rangga yang keluar.” Gue membuka
pintu.
“Ada apa?”
“Sebelumnya Ibu minta maaf. Mungkin ini
kesalahan ibu dan ayah yang terbesar. Ibu tidak pernah cerita kepada kamu
tentang keadaan kami. ”
“Cerita tentang apa?”
“Sebenarnya Ibu dan Ayah sudah memutuskan
untuk bercerai dari 1 bulan yang lalu.”
“Oh begitu. Berarti Ibu juga tahu ayah
memiliki selingkuhan?”
Ibu mengangguk kecil. Tanpa berpikir panjang
gue masuk ke kamar, mengunci pintu kemudian mengambil tas dan beberapa potong
baju. Gue keluar kamar dan meninggalkan Ibu yang masih berdiri di depan kamar.
Ibu memanggil beberapa kali tapi gue menghiraukannya. Gue masuk ke dalam gerasi
dan pergi dengan motor. Ibu mulai mengejar ke jalan dan berteriak memanggil. Gue
berhenti di sebuah taman tengah kota, memarkirkan motor dan duduk di sebuah
kursi.
Gue benar-benar merasa udah dibohongi. Gue sayang
mereka tapi kenapa mereka kayak gini? Gue ngga tahu harus pergi kemana, gue
ngga mau ada di rumah. Gue akhirnya menelepon Tedy.
“Halo.”suaranya terdengar di seberang.
“Ted, lo bisa nampung gue ga?”
“Kenapa lo? ”
“Biasa.”
“Oh, oke. Ke rumah aja. Mama nanyain kamu juga
sih.”
“Ada apaan emang?”
“Ngga tahu. Kangen mungkin. Lo kapan kesini?”
“Bentar lagi. mungkin 15 menit lagi.”
“Oke.”
Akhirnya ada tempat yang bisa gue tuju.
Walaupun ini rumah Tedy tapi udah kayak rumah sendiri. Keluarganya juga selalu nerima
gue, mungkin karena dulo orangtua Tedy dan orantua gue berteman baik. Gue
nyimpan motor di depan gerasi rumahnya. Gue memencet bel dan seorang wanita
separuh baya namun masih terlihat cantik membukakan pintu.
“Ayo masuk.”
“Makasih Tante.” Gue masuk ngikutin Tante
Manda.
“Tedy ada di kamarnya kok. Kamu nginep disini
kan malam ini?”
“Iya Tan. Maaf kalau nanti Rangga ngerepotin.”
“Ngga apa-apa. Kamu udah Tante anggap anak
Tante juga.”
“Makasih banget ya Tan.”
“Iya iya. Sekarang lebih baik kamu istirahat.
Kalau kamu mau, kamu bisa kamar kosong di samping kamar Tedy.”
“Iya Tan.”
Gue beranjak ke lantai 2 menuju kamar Tedy.
Ketika membuka pintu, gue lihat Tedy sedang asyik main game di komputernya.
“Hey”sapanya tanpa menoleh.
“Yo. Jadi malam ini gue tidur dimana?”
“Terserah lo aja. Mau di kamar ini bareng gue
atau mau di kamar sebelah.”
“Oke. Gue di kamar aDhik lo aja.”
“Apaan? Kalo berani ngelangkah kesana berarti
lo siap mati.” Tedy berbalik menghadap kearah gue yang sedang duduk di tempat
tidurnya.
“Oke bos. Becanda. Ngapain juga gue ngegerayangi anak SMP. Toh gue udah
ada cewek ini.”
“Wih. Kapan lo punya cewek?”
“Belum jadi juga sih. Baru kenalan.”
“Ah lo, cantik ga?”
“Cantik.” Gue membayangkan wajahnya yang manis
dan senyumannya yang menawan.
“Woy! Hayo mikir yang jorok ya lo?” Tedy
membuyarkan lamunan.
“Ngga lah. Itu sih lo.”
“Hahaha. Tumben gini lo bisa naksir cewek. Biasanya
lo yang Dhikejar-kejar cewek.”
“Gue juga kan berniat punya istri. Skripsi gue
udah mau rampung gini tapi calon pendamping belum ada. Gue kan gengsi juga,
Man.”
“Iya juga ya. Gue juga nyari ah.”
“Gila lo. Mau Dhikemanain tuh cewek lu?”
“Oh iya. Gue lupa punya cewek.”
Tedy memang terkenal playboy dan baik ke semua
cewek sedangkan gue adalah kebalikannya. Tedy pernah bilang kalau gue terkenal di kalangan cewek karena “cool”.
Padahal gue cuma ngga mau ribet ngurusin masalah cewek dan cukup nyelesain
kuliah gue tepat waktu. Ya walaupun gue termasuk anak pembangkang juga. Masuk kuliah
buat menuhin absen aja. Tapi tetap, nilai gue itu bersih, tanpa ada campur
tangan sogokan dan bujukan.
¥¥¥
Hari ini seminggu setelah kejadian aku menemui
Andhika di kafe. Dalam seminggu ini dia terus saja berusaha menemui dan
menghubungiku tapi aku coba untuk menolaknya.
Perkuliahan hari ini sudah selesai. PendiDhikan
yang aku ambil adalah jurusan Analisis Kimia, dan saat ini aku adalah mahasiswa
tingkat 3 di Sekolah Tinggi Analis.
“Sya, ada berita buruk.” Seorang teman
dekatku, Sheila, berlari kearahku.
“Kenapa Sheil?”
“Ada Dhika di gerbang utama.”
“Hah? Dia lagi?”
“Iya. Sya, lebih baik kamu hadapi dia deh.”
“Aku mesti kayak gimana Sheil? Apa aku maafin
dia aja?”
“Kamu mau maafin dia begitu aja? Kamu tuh
terlalo baik Sya. Dia selingkuh dari kamu tuh bukan Cuma sekali. Aku udah
sering ngeliat dia sama cewek lain tapi tetep aja kamu diemin. Aku ngga mau
liat kamu disakitin dia terus Sya.”
“Jadi aku mesti ngapain?”
“Kamu tinggal bilang ke dia kalo kamu mau
putus.”
“Tapi Sheil..” Sebelum aku selesai bicara,
Sheila sudah mendorong aku maju ke depan gerbang. Dhika yang sadar akan
kedatanganku, datang mendekatiku. Sedangkan Sheila yang tadi ada di belakang
punggungku kini sudah menghilang.
“Sya, aku mau ngomong.”
“Iya. Aku juga ada yang mau diomongin.”
“Ya sudah kamu aja dulu, Sya.”
“Oke. Gini Dhika, aku mau kita udahan aja.”
“Eh? Kenapa?”
“Mungkin kamu lebih tahu alasan aku minta
putus dari kamu. Jujur saja, bukan aku ngga sayang sama kamu tapi kamu ...”
“Please Sya, maafin aku. Aku janji ngga akan
selingkuh lagi. Aku akan tetap setia disamping kamu.”
“Ngga Dhika. Udah cukup.”
Aku meninggalkan Dhika dan pulang dengan
Sheila yang mengikutiku di belakang. Sheila memeluk pundakku, dia tahu kalau
aku sedang terguncang. Jujur saja, sebenarnya aku belum rela melepaskan Dhika.
1 tahun bukanlah waktu yang sebentar. Bagiku dia adalah orang terpenting
setelah keluarga dan sahabatku. Aku pulang disambut dengan senyuman Mama yang
riang. Aku memeluk Mama sebentar tanpa berbicara kemudian masuk ke dalam kamar.
Sheila masuk ke dalam kamar dengan membawa segelas air.
“Nih minum. Semoga kamu sedikit tenang.”
“Makasih.”
“Aku
pulang ya Sya. Kamu pasti butuh waktu untuk sendiri.” Sheila duduk di sampingku
dan memeluk pundakku sebelum dia berlalu.
Aku duduk di tepi tempat tidur dan sesekali
memandang ke cermin. Biasanya di saat yang seperti ini, suara orang itu selalu terdengar
dan dia pasti menanyakan tentangku. Sedikitnya, suaranya bisa membuat aku lebih
tenang dan mungkin bisa membuat aku tertawa. Tapi sekarang suaranya tidak
terdengar sama sekali.
“Rangga. Kamu ada?”
5 menit. 10 menit. 20 menit. 30 menit. 60
menit. Sudah satu jam aku menunggu suaranya. Suara tetap saja tidak terdengar.
♫♫♫
Gue akhirnya memutuskan pulang sebelum kembali
ke rumah Tedy. Sudah seminggu gue ninggalin rumah. Mobil ayah dan ibu terparkir
di depan gerasi. Ketika gue masuk ke dalam rumah, keduanya sedang duduk di
ruang keluarga, berhadapan dan terlihat serius.
“Rangga, bisa kesini dulu?”
“Ada apaan?”
“Kami mau membicarakan tentang...”
“Apa?
Tentang perceraian atau tentang perselingkuhan? Kalo tentang masalah itu
Rangga ngga mau denger. Selesaikan saja berdua. Rangga cukup tahu hasilnya
aja.”
Gue masuk ke dalam kamar. Dan ketika masuk ke
dalam kamar, gue melihatnya menatap kaget ke arah gue.
“Siapa kamu?”
¥¥¥
“Siapa kamu?”tiba-tiba aku melihat seorang
lelaki mendekatiku dari dalam cermin.
“Oh. Kamu sudah bisa melihatku? Baguslah.”
Suara itu.
“Kamu?”
“Iya. Gue Rangga. Rangga Aditya Purnama. Temen
kamu dari dunia cermin.”
“Jadi selama ini kamu melihatku dari cermin?”
“Begitulah.”
“Kenapa bisa begitu?”
“Mana gue tahu.” Aku mendekati cermin.
Permukaannya tetap sama, datar. Tapi, kenapa bisa ada dia didalamnya dan kenapa
bayanganku tidak muncul?
“Gue juga bingung Sya, kenapa bisa kayak gini.
Mungkin ini semua udah takdir kita berdua. Bisa ketemu dengan cara yang ngga
biasa.”
“...” aku tetap memandangi cermin dan
memandangnya. Rangga seorang lelaki yang tampan, tinggi dan menawan. Tapi
gayanya sedikit berantakan, rambutnya melebihi telinga. Dan dari arahku, aku
bisa melihat keadaan kamarnya. Kamar yang luas dan sedikit acak-acakan.
Kamarnya dipenuhi dengan poster Band luar negeri.
“Eh.”
“Ada apa?”
“Aku bisa melihat sekeliling kamu, apa kamu
juga bisa melihatnya?”
“Ya. Sama jelasnya.”
“Jadi selama ini...?”
“Jangan pernah berprasangka jelek sama gue.”
Aku melihat raut mukanya tidak senang. Aku sudah menyinggung perasaannya.
“Maaf.”
“Ya udah.
Gue biasa aja. Kamu mungkin menyangka begitu karena lihat penampilan gue kayak
ini. Rambut panjang dan gaya berantakan. Tapi perlo kamu tau, gue ngga seperti
itu.”
“Bukan itu
maksud aku. Selama ini kan hanya kamu yang bisa melihat kearahku sedangkan aku
tidak.”
“Iya iya.
Udahlah.” Rangga berlalo dari cermin, dia beralih ke lemari pakaiannya.
Mengambil beberapa potong pakaian dan memasukkannya ke dalam tasnya.
“Rangga,
kamu mau kemana?”
“Kemanapun
gue pergi, ngga ada hubungannya dengan kamu.”
“Aku kan
teman kamu juga.”
“Peduli
amat. Kamu hanya teman di dunia cermin. Ngga akan pernah bisa nolong gue.”
“Tapi kan
Rangga, setidaknya kamu bisa membagi beban kamu.”
“Buat apa
kamu peduli?”
“Karena aku
mau.”
“Ngga usah
peduli ke gue, toh orangtua gue juga ngga pernah peduli sama gue.”
“Kamu kenapa
sih?”
“Gue ngga
papa. Yang jelas, jangan peduliin gue!”
“Hey,
terserah aku mau peduli sama siapa aja. Dan aku, peduli sama kamu.”
“Apa peduli
kamu? Kamu mau nolong? Emang kamu tahu masalahnya?”
“Gimana aku
mau tahu masalah kamu, kamu saja belum cerita masalahnya. Makanya kamu ceritain
ke aku masalahnya.”
“Sudahlah
ngga perlo kamu tahu. Kamu beresin aja masalah kamu dengan pacar kamu itu.”
“Kami
udahan. Jadi, jangan bawa-bawa dia lagi.” aku menjawab dengan sedikit ketus.
“Kenapa? Ada
yang salah dengan kalian? Apa gara-gara kejadian yang bikin kamu nangis waktu
itu?”
“Salah
satunya itu, mungkin. Aku mau dia bebas aja. Biarkan dia mencari yang cocok
dengannya.”
“Sebenarnya
apa yang terjadi waktu itu?”
“Aku ... melihat dia bersama cewek lain di kafe.”
“Terus kamu
diam gitu aja?”
“Aku
mendatangi meja dia dan kenalan sama ceweknya.”
“Gitu aja?”
raut muka Rangga seperti heran.
“Iya.
Emangnya aku harus ngapain?”
“Sya,
biasanya kalo cewek digituin sama cowoknya, paling ngga ceweknya bakal nampar
atau ngga ya nyiram pake air.” Kini raut mukanya sedikit ramah, berbeda dengan
tadi.
“Awalnya sih
pengen kayak gitu tapi aku mikir lagi, buat apa aku ngelakuin hal gitu. Mungkin
emang salah dari akunya juga.”
“Oke. Gue
salut. Gue belum pernah ngeliat cewek kayak kamu. Kasian cowok itu, dia udah
menyia-nyiakan kamu gitu aja. Padahal kamu segitu berharganya. Kalau gue jadi
cowok itu, mungkin gue bakal berusaha ngejagain kamu.”
“Hahaha.
Gombal.” Kami tertawa bersama-sama. Kemudian membicarakan tentang kelakuan
Andhika dalam seminggu ini.
“Kamu
ngerasa ngga sih kalau perhatian dia ke kamu berubah?”
“Bagi aku
perhatian dia sama saja. Dari awal kami pacaran memang perhatian dia kayak gitu.
Memang, dalam 2 bulan terakhir ini jarang menghubungiku tapi aku pikir dia
memang sedang sibuk dengan pekerjaannya.”
“Oh jadi dia
sudah bekerja?”
“Iya. Dia
bekerja di perusahaan obat-obatan. Kami bertemu di kampus tempat kuliahku. Kami
berbeda 2 tahun. Dia kakak tingkatku.”
“Pantas
saja. Kamu dengan dia bertahan berapa lama?”
“Hari ini
seharusnya tepat 1 tahun.”
“Wow. Cukup
lama juga.”
“Begitulah. Jadi
kamu ada masalah dengan siapa? Pacar? Keluarga?”
“Keluarga.”
“Pantas aja
kamu membawa beberapa baju. Mau nyoba menghindar?”
“Apa maksud
kamu?”
“Iya. Aku
pikir kamu mau lari dari masalah. Menghindari keluarga kamu.”
“Jangan sok
tau. Kamu ngga akan pernah mengerti masalahnya.”
“Apa
masalahnya? Perselingkuhan? Perceriaan?”
“...” Rangga
hanya diam.
“Kenapa sih?
Apa masalahnya?”
“Ayah dan
Ibu berniat cerai.”
“Alangkah
lebih baik mencoba merundingkan dulo penyelesaian masalahnya seperti apa.
Jangan melarikan diri seperti ini, masalah ngga akan selesain kalau kamu ngga
nyelesaiannya. Aku tau kamu tidak suka dengan cara kedua orangtuamu itu tapi
coba deh ngertiin mereka juga. Jangan berlaku egois.”
“Gue tau.
Gue coba, Sya. Thanks.”
“Iya. Kamu
juga udah bantu aku kok.”
“Gue ngga
pernah bantu apa-apa.”
“Kamu sedikitnya
udah ngehibur aku dan jadi temen curhat aku.”
“Padahal gue
ngga berniat ngehibur juga sih.”
“Kamu kok
gitu?”
“Haahahaha”
dan kami kembali tertawa bersama. Ada suara ketukan pintu, aku melihat ke arah
pintu tapi bukan dari arahku dan kembali melihat ke arah Rangga.
“Pintu
kamu.”
“Oh iya.”
Rangga kemudian berlalo ke arah pintu. Dia berbicara dengan seorang laki-laki,
mungkin ayahnya. Pembicaraannya ngga terlalo terdengar, Rangga kemudian kembali
ke arahku.
“Sya, gue
pergi dulu. Ayah dan Ibu mau bicara. Kamu istirahatlah. Udah malam juga.”
“Iya.” Aku
melihatnya pergi keluar. Aku kemudian berganti pakaian di kamar mandi dan
kemudian pergi tidur.
♫♫♫
Gue mencoba
menghadapi masalah ini seperti yang dikatakan Tasya. Dia benar, masalah ngga
akan selesai tanpa ada penyelesaian. Mencoba mengerti karena gue bukan anak
kecil ataupun remaja lagi. Ayah dan Ibu menunggu di ruang keluarga. Ayah dan
Ibu duduk berdampingan. Gue duduk di hadapan mereka berdua. Ayah mengawali
pembicaraan.
“Begini
Rangga. Mungkin kamu sudah tau tentang niat kami untuk mengakhiri pernikahan ini.”
“Iya. Rangga
akan berusaha menerima semua itu. Rangga akan coba menerima pasangan ayah dan
Ibu nanti.” Ayah dan Ibu tersenyum.
“Sebenarnya...”
Ibu mencoba berbicara terlebih dahulo tapi dipotong oleh ayah.
“Sebenarnya
kami tidak jadi bercerai. Kami masih saling sayang. Lagian wanita itu juga
hanya orang lain yang berniat mengganggu hubungan kami.”
“Jadi , perceraian
itu?”
“Ibu yang
minta. Habisnya Ibu marah sama Ayah.” Ibu memukul ayah dengan manja.
“Maaf, Bu.”
Ayah memegang tangan Ibu dan kemudian keduanya berpelukan.
“Ya udahlah.
Syukur. Kalian benar-benar orangtua yang aneh.” Gue kembali ke kamar.
Orangtua
yang aneh. Padahal gue udah mempersiapkan diri buat menghadapi keputusan
terburuk. Ternyata mereka malah mesra-mesraan lagi. Gue kembali ke kamar. Ketika
mendekati cermin, Tasya ngga ada.
“Sya?”
“Nggg..”
Ternyata dia tidur.
Gue ingat
untuk mengabari Tedy kalo gue ngga kembali ke rumahnya. Dan akhirnya malah
cerita tentang Tasya ke Tedy. Tedy beberapa kali menanyakan nama Tasya dan dimana
gue ketemu Tasya. Tapi gue merahasiakannya. Gue mengakhirinya telepon itu
sebelum gue benar-benar berbicara
tentang keberadaan Tasya.
¥¥¥
Aku
melihatnya sedang tidur. Dia tidur hanya mengenakan kaus dalam dan celana
pendeknya. Selimut hanya menutupi kakinya.
“Rangga.
Bangun.”
“Nggg..”
“Ayo
bangun.” Dia melirik ke arahku.
“Kamu kuliah
hari ini?”
“Cuma mau ke
dosen pembimbing aja. Mau bimbingan bab terakhir.”
“Eh?
Skripsi? Kamu udah bikin skripsi?”
“Iya. Gue
kan udah tingkat akhir. Bentar lagi beres.”
“Aku
kira...”
“Gini-gini
juga gue ngga pernah bermasalah sama kuliah gue.”
“Tampang
preman kamu tuh menipu ya?”
“hahaha.
Sialan.”
“Gue anak baik,
Sya. Cuma penampilan gue aja sedikit trendi.”
“Iya. Aku
berangkat duluan. Ada ujian hari ini.”
“Hati-hati,
Sya.”
Aku keluar
kamar dan pamit ke Mama yang sedang sarapan bersama Reyhan, adik laki-lakiku.
Kuliah hari
ini hanya 2 mata kuliah. Aku selesai kuliah kemudian mencari Sheila. Kami
berniat pergi ke mall untuk mencari hadiah ulangtahun pernikahan Mama dan Papa.
Besok malam mereka akan mengadakan pestanya. Memang bukan pesta yang besar,
hanya mengundang beberapa kerabat saja. Aku menemukan Sheila sedang mengobrol
dengan dua orang cowok di tempat duduk dekat tempat parkir.
♫♫♫
Hari ini
benar-benar ngga terbayangkan. Seorang cewek cantik membangunkan gue. Dia
tersenyum lembut. Benar-benar seperti mimpi. Sayangnya, dia baru berpisah
dengan pacarnya. Semoga gue bisa secepatnya menggantikan posisi mantannya
dihatinya. Gue membayangkan dia datang ke tempat gue duduk. Dan dia menyapa
teman gue.
“Sheil!”
“Eh, ada
Tedy juga.” Suara ini seperti suara Tasya.
“Rangga?”
Suara ini makin seperti nyata dan saat ini dia memanggil gue. Gue benar-benar
lagi mimpi. Dia ada di hadapan gue.
“Woy, Bro!
Ngapain lo?”
“Eh?” Semua
lamunan gue buyar tapi sosok cantik itu masih ada di hadapan gue.
“Lo
ngelamunin apa sih?”
“Eh...” Gue
bener-bener ngga bisa ngomong apa-apa.
“Kenalin nih
bro. Sahabat cewek gue, Tasya.”
“Oh. Hey,
gue Rangga.”
“Aku Tasya.”
Kami berjabat tangan. Sosok cantik ini ada di hadapan gue. Dan gue bisa megang
dia. Dia duduk di samping Sheila, cewek Tedy. Mereka bertiga asyik mengobrol
dan gue sendiri malah asyik memperhatikan Tasya, senyumannya, wajahnya,
tingkahnya, dan semua tentangnya.
“Sheil,
kapan kita nyari hadiahnya?”
“Oh iya,
lupa. Sekarang aja yuk? Kamu mau kan nganter aku, say?”
“Iya iya.”
Tedy menepuk bahu. “Bro, lo pulang sendiri ya. Gue mau nganter cewek gue nyari
hadiah.”
“Eh?”
lagi-lagi gue ngga merhatiin omongan Tedy. Dan ini kesekian kali omongan Tedy yang
ngga gue perhatiin.
“Lo kenapa
sih? Sekarang lo pulang sendiri, gue mau nganter Sheila ke Mall dulu, nyari
hadiah.”
“Oh. Hadiah
buat apa, Sheil?”
“Hadiah buat
Ulangtahun pernikahan Orangtuanya Tasya. Besok malam acara pestanya. Aku dan Tedy
juga diundang. Kamu mau ikut bareng kita?”
“Gue kan
ngga diundang. Kalian aja.”
“Kamu juga
boleh datang kok.” Tasya berpaling ke arah gue.
“Emang ngga
papa Sya?”
“Ngga lah.
Datang ya. Ted, nanti kasih tau alamatnya ya.”
“Oke, Sya.”
“Yaudah. Yuk
pergi!” Sheila menarik Tasya menuju mobil Tedy. Gue dan Tedy mengikuti di
belakang mereka.
“Sorry ya
Bro. Lo mesti balik sendirian.” Tedy menepuk bahu.
“Ngga papa.
Lagian dari sini ke kampus tuh dekat, gue kan mesti ngebawa motor dulu.”
“Oh iya.
Naik apa lo kesana?”
“Naik angkot
paling.”
“Oke deh.
Gue duluan ya.” Tedy berlalo ke dalam mobilnya. Gue sempat melihat ke arah
Tasya yang duduk di kursi belakang. Dia tersenyum ke arah gue. Gue membalas
senyumannya dan mobil Tedy pun pergi meninggalkan gue yang masih menunggu
angkot.
¥¥¥
Sepulangnya
dari Mall, Tedy dan Sheila mengantarkanku sampai rumah, dan aku langsung masuk
ke kamar dan mendekati cermin. Aku tidak melihatnya. Hanya kamar luas yang
kosong. Kemanakah dia pergi?
Kejadian
hari ini mungkin tidak pernah terbayangkan olehku. Rangga muncul di hadapan
mataku dan kami berkenalan langsung. Ternyata dia sahabat pacar sahabatku.
Rangga ternyata orang yang ada dekat denganku.
Suara Katy
Parry dari handphone di tasku membuyarkan lamunanku. Aku mengambil handphoneku
dan melihat panggilan yang tertera. Sebuah panggilan dari private nomor.
Lagi-lagi private nomor. Dua hari ini banyak sekali aku mendapat panggilan dari
private nomor. Hari ini sudah 10 kali aku menerima panggilan dari private
nomor. Ketika aku mencoba menerima panggilan dari private nomor pertama kali,
aku mendengar suara sesorang yang mengatakan “Rasakan akibatnya dari perbuatan
kamu”. Ketika aku bertanya siapa, dia menutup teleponnya. Aku menerima
panggilan yang terakhir ini, ada suara gemerisik yang terdengar. Kemudian ada
suara yang aku kenal. Andhika.
“Aku ngga
terima kamu mutusin aku!”
“Dhika...”tut
tut tut.
Andhika menutup teleponnya sebelum aku sempat
berbicara. Bagaimana ini?
“Sya..” suara Rangga mengagetkanku.
“Eh, kamu.”
“Ada apa
Sya?” wajah Rangga terlihat cemas.
“Ngga ada
apa-apa.” Aku berjalan menuju jendela.
“Ada apa sih
Sya? Kamu cerita aja.”
“Ngga kok.
Aku mandi dulu ya.” Aku berlalu menuju kamar mandi.
Setelah
keluar dari kamar mandi. Rangga masih berada di tempatnya tadi. Dia menatap
kearahku.
“Rangga, dua hari ini aku mendapat telepon
dari private nomor.”
“Berapa
kali?”
“sekitar 10
kali.”
“Apa mungkin
itu mantan kamu?”
“Andhika
maksud kamu?”
“Ya. Apa dia yang meneror kamu?”
“Aku tidak
tahu. Tapi panggilan terakhir memang dari dia.”
“Kapan dia
nelepon kamu?”
“Sejam jam
yang lalu.”
“Bentar, kenapa
kamu bisa tahu itu Andhika?”
“Aku sempat
mengangkat teleponnya dan mendengar suaranya. Tapi sebelum aku berbicara, dia
sudah menutup teleponnya.”
“Apa yang
dia bicarakan?”
“Dia cuma bilang
kalau dia ngga terima keputusan aku.”
“Putus?”
“Iya. Tapi Rangga...”
“Apa lagi?”
“Telepon yang pertama kali. Seseorang
berbicara, dia bilang kalau aku akan merasakan dari perbuatan aku. Aku tidak
mengerti apa maksud perkataanya.”
“Gue pikir dia itu orang yang ingin balas
dendam sama kamu.”
“Tapi siapa? Apa mungkin itu Andhika?”
“Kita akan caritahu. Kamu hati-hati aja, Sya.”
Ketika itu aku mendengar kaca jendela kamarku pecah, ada seseorang yang masuk.
Tanpa sempat melihat orang itu dengan jelas, dia sudah menutup mulutku dengan
saputangan. Suara teriakan Rangga terdengan sayup-sayup di telingaku.
♫♫♫
“Tasya!”
“Sial! Kenapa cerminnya kembali di saat yang
tidak tepat!” gue melihat Tasya dibekam seseorang. Dan dalam sekejap cermin
menjadi buram dan kemudian kembali seperti sediakala. Gue mesti pergi ke rumah
Tasya dan ngasih tahu orangtuanya. Gue mengambil jaket dari lemari dan keluar
kamar.
“Rangga, kamu mau kemana?” Ibu berteriak di
belakangku.
“Rangga mau ke rumah Tasya, Bu.”
“Hah?”
Gue pergi ke alamat yang dikirim Tedy tadi
sore. Sebuah rumah 2 lantai dengan cat biru muda. Gue memencet bel, seorang wanita
cantik membukakan pintu.
“Permisi Tante, saya Rangga. Apa benar ini
rumahnya Tasya?”
“Iya, ada perlu apa?”
“Maaf sebelumnya, saya hanya ingin memberitahu
kalau Tasya diculik.”
“Eh? Tadi Tasya ada di kamarnya. Sebentar,
tante periksa dulu. Rangga silahkan masuk.” Mamanya Tasya masuk ke sebuah
kamar, mungkin itu kamar Tasya.
“Aaaaa!” gue bangkit dan berlari menuju kamar
itu, terlihat mamanya Tasya yang sedang duduk bersimpuh menghadap jendela yang
terbuka. Jendela dengan kacanya yang pecah.
“Tante, ngga apa-apa?”
“Benar kata kamu, Tasya ngga ada. Bagaimana
ini? dia diculik siapa?” mamanya Tasya mulai menangis.
“Mama. Ada apa?” seorang anak laki-laki masuk
dan memeluk mamanya Tasya. “Kamu siapa?”
“Saya Rangga. Temannya Tasya.”
“Reyhan, kamu telepon Papa, kasih tahu kakak
kamu diculik.”
“Apa?”
“Cepat Rey!” anak laki-laki berlari keluar.
“Ayo Tante kita keluar dari sini dulu. Tante
duduk di kursi supaya tenang.” Gue memapah Mamanya Tasya ke sofa.
“Rangga, Tante minta bantuan kamu. Tolong cari
dan selamatin Tasya. Memang kita baru saja bertemu, tapi tante percaya kamu.”
“Iya Tante. Saya pamit dulu.”
“Hati-hati ya Rangga.”
Gue pergi dari rumah Tasya dan pergi ke rumah
Tedy. Gue memencet bel dan Tedy membukakan pintu.
“Bro, ayo pergi!”
“Hah? Kemana?”
“Nyari Tasya. Dia diculik.” Tedy terlihat
kaget.
“Becanda lo ya?”
“Emang muka gue keliatan lagi becanda?”
“Ngga sih. Tapi lo tau darimana?”
“Sekarang bukan waktunya ngejelasin itu tapi
barusan gue juga dari rumah dia. Dan dia beneran ngga ada, mamanya juga malah
nyuruh gue buat nyari Tasya. So, ayo pergi!”
“Iya tapi pergi kemana?”
“Ke rumah Andhika, mantannya Tasya. Mungkin
dia tahu.”
“Tapi kita kan ngga tau alamatnya dia.”
“Tanya cewek lo lah. Cewek lo kan satu kampus
sama dia, Bro. Lagian cewek lo juga sahabatnya Tasya.”
“Oh iya.” Tedy mengeluarkan handphone dan
menelepon Sheila. Beberapa saat mereka berbicara.
“Di perumahan Mekar Wangi Blok M, no.3.”
“Oke. Ayo pergi.”
“Bentar gue bawa jaket sekalian pamit ke
Mama.”
Alamatnya menunjuk ke sebuah perumahan elit di
kota Bandung. Perumahan dengan semua rumah berlantai 2 dan mewah. Gue berhenti
di sebuah rumah bercat kuning. Gue memencet bel dan seorang wanita berpakaian
sederhana membukakan pintu.
“Maaf, mbak. Apa benar ini rumah Andhika?”
“Iya, tapi Mas ini siapa ya? Temennya Den
Dhika?” Mungkin wanita ini pembantunya.
“Iya. Kita temennya.”
“Oh silahkan masuk. Mohon tunggu sebentar.”
wanita itu meninggalkan Gue dan Tedy yang terpaku melihat rumahnya Andhika.
“Gile, Bro. Nih orang, kaya bener. Udah
tinggal di perumahan elit, rumahnya gede, punya pembantu, dan lo liat tadi di
gerasinya? Mobilnya banyak. Ada 4 gitu.”
“Jangan ribut, Ted. Duduk yuk.” Seorang cowok
tinggi dan tegap mendekat, mungkin itu Andhika.
“Maaf, apa gue kenal kalian? Ada perlu apa
kalian nyari gue?”
“Gue kesini cuma mau nanyain keberadaan Tasya.”
“Memangnya siapa kamu?”
“Gue Rangga, pacarnya Tasya.”
“Eh? Bro?” Tedy kaget dengan pernyataan gue.
Dan gue juga ngga tahu ngomong kayak gitu.
“Oh jadi, lo yang bikin dia ngga mau balik ke
gue.” Andhika mendekat ke arah gue.
“Itu sih bukan gara-gara gue. Emang lo ngga
pantes buat dipertahanin lagi. Lo udah selingkuh dari dia.” Gue berdiri.
“Tapi lo juga udah ngerebut dia dari gue?”
“Gue ngga pernah ngerebut dia.”
“Stop! Kalo kalian mau ribut, jangan sekarang
bro! Balik ke niat awal kita, Bro!” Tedy menjauhkan gue dan Andhika yang udah
siap adu terjang.
“Oke! Gue kesini cuma mau nanyain Tasya.”
“Ngapain lo nanya ke gue? Lo kan cowoknya
dia?”
“Tapi lo yang nelepon dia terakhir pake
private nomor. Dan gue curiga, lo yang udah bawa dia pergi.”
“Eh? Maksud lo, Tasya diculik?”
“Iya. Dan gue curiga, lo yang ngelakuin itu.”
“Gue sekarang ada di depan lo ya. Ngga mungkin
gue juga yang nyulik dia. Kapan dia diculik?”
“Sekitar 1 jam setelah lo nelepon dia.”
“Terus lo ngapain nuduh gue segala?”
“Gini ya Dhik. Belakangan ini dia di teror.
Dia dapat telepon dari private nomor. Dan lo nelepon dia pake private nomor
juga. So, lo satu-satunya yang bisa dijadiin tersangka.”
“Gue nelepon dia pake private nomor karena
tahu dia ngga akan curiga itu gue. Dan gue cuma nelepon dia 1 kali dan itupun
cuma sebentar. Handphone gue keburu mati.”
“Kalo bukan lu, terus siapa?”
“Mana gue tahu.” Tedy terlihat memikirkan
sesuatu.
“Kayaknya gue tahu sesuatu.”
¥¥¥
Ruangan ini gelap dan aku ngga bisa bergerak.
Mulutku disumpal dengan selotip besar. Kaki dan tanganku diikat tali. Ini
dimana? Kenapa aku berada disini? Aku mencoba mengingat-ingat kejadian
sebelumnya. Terakhir aku sadar, ketika aku di kamar dan berbicara dengan
Rangga. Kemudian ada suara jendela kamarku yang pecah, seseorang mendatangiku
dan aku lupa kejadian selanjutnya.
Pintu ruangan itu terbuka, ada cahaya yang
masuk. Terlihat seseorang mendekatiku, dari bayangannya aku melihat dia seorang
yang tinggi dan berambut panjang.
“mmm”
“Kenapa kamu? Mau minta dilepasin? Ngga akan!”
Siapa dia? Aku tidak mengenal suara ini.
“Aku akan melepaskan kamu nanti setelah pacar
kamu datang.” Pacar siapa maksud dia? Aku tidak memiliki pacar. Dia
meninggalkanku dan menutup pintu. Ruangan menjadi gelap lagi.
♫♫♫
Andhika menunjukkan sebuah email. Andhika
sebelumnya ngga ngerti apa maksud dari email itu. Email itu hanya bertuliskan
“Datanglah sebelum terlambat” dan sebuah foto rumah.
Gue, Andhika, dan Tedy pergi ke rumah yang
ditunjukkan di dalam email itu. Gue dan Tedy tetap memakai motor dan Andhika
memakai mobilnya. Tapi sebelumnya berangkat, Tedy menelepon Sheila untuk
memintanya menyusul dan untuk memanggil polisi.
Rumah itu sepi. Ngga ada rumah terdekat di
sekitarnya. Ada sebuah mobil yang terparkir di depan rumah itu.
“Dhik, lo kenal mobil ini?”
“Ya. Ayo masuk. Tapi inget, lo hanya boleh
nyelamatin Tasya. Urusan sama penculik, itu urusan gue.”
“Oke!”
Andhika dan gue bersamaan mendobrak pintu dan
seorang cewek cantik sedang duduk di kursi menghadap ke pintu.
“Hello, Sayang. Akhirnya kamu datang. Aku udah
nunggu kamu lho.”
“Apa apaan kamu, Gys? Dimana Tasya?”
“Kenapa sih Dhik, kamu cuma mikirin Tasya
doang.”
“Ya karena aku sayang dia, Gys.”
“Oh, dan kamu ngga sayang sama aku?”
“Bukan gitu. Dimana Tasya, Gys?”
“Aku ngga akan kasih tahu kamu!”
“Gyska. Please lepasin dia. Jangan bawa-bawa
dia lagi dalam urusan kita.”
“Itu karena kamu lebih milih dia.”
Selagi mereka ribut, gue pergi mencari Tasya
sendiri. Gue mencoba nyari di beberapa ruangan tapi ngga ada. Dan hanya sebuah
ruangan di ujung yang tersisa. Kunci ruangan itu tergantung dan aku masuk.
Gelap. Sepertinya tidak ada apa-apa disini. Dimana Tasya? Kenapa dia ngga ada
di setiap ruangan?
“mmmm” terdengar sebuah suara yang tidak
jelas.
“Apa itu?”
“mmmm...” gue mengeluarkan handphone dan menunjukkan
cahaya ke seisi ruangan. Seseorang terikat di lantai. Tasya.
“Sya?” gue membuka seluruh ikatannya dan
membuka selotip yang menutup mulutnya.
“Rangga, gue takut.” Tasya memeluk gue dengan
erat.
“Sekarang kan udah ada gue disini.” Gue
menepuk kepalanya dan membantunya berdiri. Gue memegang tangannya dan berjalan
keluar.
Gue mendengar Tedy masih bertengkar dengan
cewek itu. Ketika sampai di ruangan mereka, cewek itu sedang memegang pisau.
“Kalo kamu ngga bisa jadi milik aku, lebih
baik aku mati.” Cewek itu menusukkan pisau ke dalam perut dan seketika darahpun
muncul di bajunya. Tedy menahan cewek itu jatuh.
“Rangga. Tolong telepon ambulan.”
“Eh? Oke.”
Gue mengeluarkan handphone dan menelepon
panggilan darurat. Tasya yang berada di samping gue, terlihat semakin shock.
Dia mengalami hal yang cukup berat hari ini. Tedy yang dari tadi menunggu di
luar, masuk ke dalam rumah dan kaget seketika.
“Kenapa ini?”
“Ya seperti inilah. Mana polisi dan mobil
Ambulannya?”
“Polisi bentar lagi nyampe. Sheila juga bentar
lagi kesini. Dia bawa mobil buat ngejemput.”
Ngga lama mobil ambulan dan polisi datang.
Wanita itu, Gyska, dia dibawa ke rumah
sakit. Andhika menemaninya. Polisi menyuruh gue dan yang lain ke kantor polisi
untuk ditanya beberapa informasi.
Setelah semua sesi tanya selesai, Tasya terlihat
masih shock di kursi tunggunya. Sheila dan Tedy duduk di sampingnya.
“Ayo pulang.” Gue mendekati mereka dan berdiri
di hadapan Tasya.
“Lo udah selesai, Bro?” Tedy berdiri.
“Udah. Ayo pulang. Sya, kamu pulang dianter Sheila
sama Tedy ya.” dia ngga menyahut. “Sya?”
“Iya?” dia menengadah ke arah gue.
“Kamu pulang dianter Sheila sama Tedy ya.”
“Aku, aku mau dianter kamu aja.”
“Yaudah lah Rangga. Kamu anterin dia aja. Biar
aku nganterin Tedy doang, kan kamu juga udah dititipin Tasya sama mamanya.”
“Iya iya. Ayo!”
Selama
perjalanan, Tasya ngga berbicara sedikit pun. Gue berhenti di depan rumahnya.
“Sya, udah nyampe.”
“Oh iya.” Dia turun dan memberikan helmnya.
Gue memarkirkan motor dan berdiri di sampingnya.
“Makasih. Udah nolongin aku, makasih udah
nganterin aku, dan makasih...” dia terlihat seperti menahan airmatanya. Gue
memegang tangannya.
“Sya, jangan nahan perasaan kamu. Cerita ke
aku.” Dia mulai menangis.
“Rangga, gara-gara aku Gyska seperti itu. Dia
hampir mati gara-gara aku...”
“Bukan karena kamu, Sya. Dia memang terlalu sayang
sama Andhika sedangkan Andhika masih sayang sama kamu.”
“Harusnya aku ngga ada aja. Semua tersiksa
gara-gara aku.”
“Jangan seperti itu, Sya.” Gue menarik Tasya
ke dalam pelukan. Dan dia benar-benar menangis sekarang. Gue membiarkan dia
mencurahkan semua bebannya. Setelah sekian lama dia menangis, akhirnya ia
berhenti menangis, melepaskan pelukan gue dan menatap gue.
“Makasih banget.”
“Iya. Kamu cepet masuk. Keluarga kamu udah
nunggu, mereka khawatir sama kamu.”
“Iya. Besok dateng ya.”
“Pasti.”
Gue meluncur pulang ke rumah setelah Tasya
masuk ke dalam rumahnya. Ibu menunggu di dekat pintu gerasi.
“Udah makan malam?”
“Belum, Bu. Lupa.”
“Yaudah. Sini makan. Tadi ibu masak makanan
kesukaan kamu.” Ibu menghangatkan beberapa makanan. Gue makan ditemani Ibu.
Udah lama rasanya, gue ngga makan di rumah kayak gini. Setelah hampir selesai
makan, Ibu mulai berbicara.
“Jadi, Tasya itu siapa?”
“Uhuk..uhuk..” makanan terakhir yang belum
ditelan hampir saja keluar lagi gara-gara kaget.
“Minum dulu nih. Kok kamu kaget gitu sih?
Pacar kamu?”
“mm.. bukan, Bu. Cuma temen.” Ibu cuma
mengangguk-ngangguk. Gue tahu Ibu ngga percaya dengan jawaban gue.
“Oh. Nanti deh Ibu tanya ke Tedy aja.”
“Iya deh Bu. Dia calon aku.”
“Yee. Akhirnya. Kapan kamu mau ngenalin ke
Ibu?”
“Belum saatnya, Bu. Nanti kalo statusnya udah
jelas aja.”
“Oke, Ibu tunggu. 1 minggu ya.”
“Eh?”
“Ngga sabar, Rangga. Ibu kan mau ada temen di
rumah.”
“Eh? Ibu di rumah? Kantor ibu?”
“Ibu ngga akan full di kantor lagi. ke
kantornya cuma seminggu sekali aja. Kan ibu mau jadi istri rumahan lagi, biar
ayah kamu ngga melirik kanan-kiri lagi.”
“Iya iya deh.”
“1 minggu lagi ya?”
“Terserah Ibu aja deh.” Gue bangkit dari kursi
dan meninggalkan Ibu.
Gue masuk ke dalam kamar dan mendekat ke
cermin, mencari sosoknya, tapi yang ada hanya bayangan gue sendiri.
¥¥¥
“Hey, bangun sayang. Udah siang.” Mama menarik
selimutku dan menepuk-nepuk pipiku.
“mmm..”
“Ayo bangun, sayang. Kita mesti siap-siap.”
“Ada apaan sih, Ma?”
“Malam ini kan ada pesta sayang. Kamu belum
nyoba gaun yang udah Mama siapin buat kamu.”
“Masih ngantuk, Ma.”
“Mama tunggu kamu di meja makan setengah jam
lagi. Setelah itu, kita pergi ke butik buat ngambil gaunnya.”
“Iya, Ma.”
Setelah
mandi, aku ke meja makan, semuanya sudah menunggu.
“Kakak lama ih.” Reyhan yang mulai menggerutu.
“Maaf, Rey.”
“Kak, nanti malam, Kak Rangga kesini juga?”
“Eh?”
“Kamu ngundang dia kan, Sayang?” Mama ikut
angkat bicara.
“Papa juga mau ngucapin makasih buat dia udah
nolong kamu.” Dan sekarang Papa pun ikutan.
“Bentar, kenapa semua kenal Rangga?”
“Ya. Karena kami tau kamu diculik dari Rangga.
Dia, cakep ya.” Mama tersenyum dan mengerlingkan mata ke arahku.
“Mama!”
“Iya, Pa. Dia tetep kalah sama Papa kok.” Mama
memegang tangan Papa.
Setelah makan, aku dan Mama pergi ke butik dan
mengambil gaun yang akan dipakai nanti malam. Mama mengajak ke salon langganan
dan kami pulang ke rumah 1 jam sebelum pesta dimulai.
Aku berganti baju dan memakai sedikit riasan.
Aku membantu mama untuk mengecek kembali keperluan yang sudah disiapkan. Mulai
dari makanan, minuman, hiasan, dan yang lainnya. Pesta mulai jam 7 malam.
Beberapa rekan papa dan teman-teman arisan Mama udah datang.
Terdengar suara bising motor di luar, dan sepertinya
itu Rangga. Aku keluar dan menyambutnya.
“Hey.” Dia menghampiriku.
“Hey. Aku kira kamu ngga akan datang.”
“Aku pasti datang kok. Tedy sama Sheila udah
datang?”
“Tadi sih Sheila sms, dia datangnya telat,
Tedy nya lupa ada pesta ini.”
“kebiasan tuh orang. Mama sama Papa kamu
mana?”
“Ada di dalam. Mereka udah nunggu kamu.”
“Eh? Ada apaan?”
“Ngga tahu.”
“Yaudah. Yuk!” Rangga menggandengku tanganku.
Dia terlihat tampan. Rambut panjangnya udah dipotong rapi. Ketika di hadapan
Mama dan Papa, aku melepaskan tangannya.
“Pa, Ma, ini Rangganya.”
“Hey, Rangga.”
“Malam Tante, Om.”
“Oh ini. Semalam kamu ngga sempet ketemu sama
saya kan? Terimakasih ya udah nolong putri saya.”
“Iya, Om. Sama-sama.”
“Hello Kak Rangga. Maafin aku semalam ya.” Rey
yang
“Ngga papa kok Rey.” Mama dan Papa banyak
nanya Rangga, tentang kuliah, keluarga,
dan hal lainnya.
“Papa sama Mama banyak nanya deh.” Aku mulai
kesal dari tadi didiemin.
“Yaudah deh. Sya, ajak Rangga sana. Ambil
makanan atau minuman gitu.”
“Iya. Yuk!”
Akhirnya aku mengajaknya mengambil minuman.
Dia mengambil segelas cola. Kami berkeliling taman, dan duduk di kursi. Setelah
beberapa saat terdiam, Rangga mulai berbicara. Dia menatapku lekat.
“Sya, gue mau jujur aja. Sebenarnya gue udah
suka sama kamu dari pertama ngeliat. Dan pas liat kamu nangis, gue malah jadi
sayang. Gue emang ngga bisa berkata-kata manis kayak Andhika. Dan gue juga ngga
bisa menjanjikan apa-apa. Mungkin nanti kamu bakal sering ngerasain dingin dan
cueknya sikap gue. Tapi tolong ketika saat itu terjadi, ingetin gue. Gue emang
ngga pernah sayang sama orang, karena gue tahu gue nunggu seseorang yang pantes
gue sayangi, dan itu kamu.”
“...”
“Kalo kamu ngga bisa jawab sekarang, gue bisa
nunggu kok.”
“Aku sebenarnya bukan orang yang cuek tapi aku
orang yang menahan perasaan. Tapi kalo kamu minta suatu saat nanti aku ingetin
kamu, mulai sekarang aku bakal jadi orang yang selalu ngingetin kamu buat
sayang sama aku.”
“Itu berarti kamu mau jadi sama gue?”
“Kamu mau nunggunya berapa lama?”
“Seminggu aja sih.”
“Kok?”
“Abisnya, Mama ngasih waktu buat ngenalin
kamunya sampe minggu depan.”
“Kalo aku tetep ngga terima kamu, gimana?”
“Ya, mungkin Mama yang langsung ngelamar
kamu.”
“Itu sih parah.”
“Yah, begitulah.”
“Hayo, lagi ngapain kalian?” Sheila dan Tedy
menghampiri kami.
“Ngga ngapa-ngapain kok.”
“Wih, rambut lo dipotong, Bro? Kenapa? Mau
lamar kerja atau lamar Tasya nih?”
“Lamar ini dulu lah. Lamar kerjanya nanti abis
wisuda.” Rangga menyikut tanganku.
“Asik. Jadi nih lo punya pendamping wisuda?”
“Jadi dong. Iya kan, Sya? Bukannya lo mau
nyari lagi?” Rangga balik bertanya ke Tedy.
“Eh? Apa? Jadi gitu Ted? Kamu mau nyari lagi
pengganti aku?” Sheila mulai terlihat kesal.
“Ngga kok, Say. Aku tetep setia sama kamu. Itu
sih karangan dia aja. Ah lo ngga asik, Rangga. Awas lo!”
Kehidupan serasa berubah dalam sesaat. Karena
sebuah cermin aku bisa mendengar suaranya. Karena sebuah cermin aku bisa
bertemu dengannya. Karena sebuah cermin kami bisa saling bercerita. Dan karena
sebuah cermin dia bisa menolongku. Dua suara, dua mata, dua hati dan dua
kehidupan yang terhubung karena sebuah sebuah cermin. Hidup ini adalah rahasia.
Semua hal bisa terjadi. Semua kehidupan bisa terhubung dengan kehidupan
lainnya. Jadi bagaimana dengan kehidupanmu? Lihatlah cermin di kamarmu! Apakah
menunjukkan kehidupan lain?
Selesai
0 komentar:
Posting Komentar