Selasa, 12 Maret 2013

Cinta dalam Cermin

Diposting oleh thewins di 06.09
“Aku akan selalu ada di samping kamu. Ketika kamu mempunyai masalahpun, aku akan jadi orang yang selalu memelukmu dan menemanimu dalam menyelesaikan itu.”
Itu adalah kata-katanya ketika dia mengungkapkan perasaannya padaku hampir 1 tahun yang lalu. Dan ketika itu kami sepakat untuk menjalin hubungan. Selama ini kami tidak pernah memiliki masalah sedikitpun, tak ada yang salah diantara kami. Dan tak ada pertengkaran sedikitpun. Kini hubungan kami tidak seperti itu lagi, satu menit yang lalo aku melihatnya di sebuah kafe bersama wanita lain, berpelukan dengan mesranya dihadapan orang-orang. Dan saat ini, aku sedang berdiri di hadapannya, melihatnya memeluk wanita lain.
“Ta..sya..”Andhika terlihat kaget dan dengan buru-buru melepaskan pelukannya.
“Hey, Dhika.” aku melambaikan tangan.
“Tasya, lagi apa disini?” tanyanya ragu-ragu.  
“Nyapa kamu aja sih. Sama siapa nih?” aku mengerlingkan mata.
“Oh iya, ini Gyska. Gys, ini Natasya.” Dengan sedikit canggung Andhika mengenalkan Gyska.
“Hey, Gys. Dhika, aku duluan ya. Maaf aku ganggu barusan. Silahkan lanjutkan lagi.” Aku berlalo sambil melambaikan tangan.
Aku kembali melanjutkan perjalanan pulang kuliahku yang tertunda. Kampusku memang dekat dari rumah, cukup berjalan 20 menit. Aku masuk ke dalam rumah tanpa menyapa mama yang sedang duduk di ruang keluarga sambil menonton televisi. Aku menyimpan tasku di meja belajarku dan aku berdiri di depan cermin besar seukuran 1 meter di samping tempat tidurku.
“Apa yang salah denganku? Kenapa Andhika berbuat seperti itu di belakangku? Apa aku seorang wanita yang buruk? Apa aku tidak cantik?”
Aku hanya bisa diam melihat pantulan bayanganku di dalam cermin itu. Aku meraba pantulan bayanganku. Rasanya saat ini aku merasa sedih tapi sayangnya air mataku tidak mengijinkanku untuk menangis.
“Kenapa kamu?” lagi-lagi suara ini, suara seseorang yang tidak aku ketahui keberadaannya. Suara yang aku cari selama satu minggu terakhir ini. Suara yang selalu muncul tiba-tiba di saat yang tidak tepat.
“Lagi-lagi kamu. Siapa kamu sebenarnya? Tunjukan keberadaanmu!”
“Gue tuh temen kamu saat ini. Gue ada di depan kamu dan selalu di depan kamu.” Aku tidak mengerti dengan apa yang Dhikatakannya.
“Tidak ada siapapun disini. Hanya sebuah cermin besar. Kamu hantu?”
“Enak saja kamu ngomong. Gue manusia juga.”
“Kalau kamu manusia, tunjukkan!”
“Kalau saat ini kamu ngga bisa lihat gue, itu berarti memang bukan saatnya kita ketemu.”
“Aku tidak mengerti.”
“Biar saja untuk saat ini kamu tidak mengerti. Karena lebih baik begitu.”
“Jadi apa tujuan kamu sebenarnya muncul disini?”
“Ngga tahu.” Dia berdiam untuk sekian lama.
“Hey makhluk tak terlihat.” Aku memanggilnya.
“Apa?”
“Apa kamu dapat melihatku dengan jelas?”
“Iya, kenapa?”
“Apa aku cantik?”
“Hahahaha” dia tertawa terbahak-bahak dengan sangat keras.
“Kenapa sih kamu? Kenapa kamu tertawa? Apa aku segitu jeleknya sampai kamu tertawa terbahak-bahak seperti itu?”
“Kamu itu ya, apa kamu tidak pernah menyadarinya. Lihatlah ke cerminmu yang besar itu, kamu itu cantik sekali. Putih, tinggi, dan senyuman kamu itu yang paling cantik.” Aku kembali memerhatikan pantulan bayanganku dan ada semu merah di pipiku ketika mengingat omongannya.
“Hey, jangan geer. Gue ngomong kayak itu karena kamu menanyakannya. Lagian gue cuma ngejawab pertanyaan kamu, bukan berniat memuji kamu.”
♫♫♫
Gue lihat wajahnya yang sedikit kecewa. Gue emang ngga berpura-pura memujinya, hal itu emang kenyataan. Dia adalah seorang wanita cantik dengan senyuman yang menawan. Sayang saat ini, wanita ini sedang bermuram durja. Gue ngga tahu apa yang bisa membuatnya begitu sedih seperti ini, mungkin karena seseorang telah melukai perasaannya. Rasanya ingin gue peluk dia dengan erat dan melepaskan semua kesedihan yang tersirat dimatanya itu.
Seminggu terakhir ini gue bisa melihatnya, ketidaksengajaan yang benar-benar ngga masuk akal. Gue bisa melihat ke arahnya sedangkan dia ngga. Kejadian ini bermula ketika pertengkaran di antara gue dan ayah memuncak. Saat itu gue beradu mulut dengan ayah dan kalau saja Ibu ngga menghalanginya, mungkin sudah terjadi kontak fisik diantara kami. Semua itu terjadi karena gue yang memergoki perselingkuhan ayah. Gue benar-benar marah saat itu dan hampir saja gue memecahkan cermin besar di dalam kamar tapi hal anehpun terjadi. Gue melihatnya. Gue melihat wanita ini. Wanita yang saat ini ada di hadapan gue sekarang.
“Hey kamu, makhluk yang tidak terlihat. Nama kamu sebenarnya siapa?” Dia membuyarkan lamunanku.
“Nama? Rangga. Kamu siapa?”
“Aku, Natasya Herlambang. Panggil saja Tasya.” Akhirnya kami berkenalan, nama yang cantik.
“Rangga, boleh Ibu masuk?” Gue bangkit dan mendekati pintu, jangan sampai Ibu masuk dan melihatnya.
“Bentar, Rangga yang keluar.” Gue membuka pintu.
“Ada apa?”
“Sebelumnya Ibu minta maaf. Mungkin ini kesalahan ibu dan ayah yang terbesar. Ibu tidak pernah cerita kepada kamu tentang keadaan kami. ”
“Cerita tentang apa?”
“Sebenarnya Ibu dan Ayah sudah memutuskan untuk bercerai dari 1 bulan yang lalu.”
“Oh begitu. Berarti Ibu juga tahu ayah memiliki selingkuhan?”
Ibu mengangguk kecil. Tanpa berpikir panjang gue masuk ke kamar, mengunci pintu kemudian mengambil tas dan beberapa potong baju. Gue keluar kamar dan meninggalkan Ibu yang masih berdiri di depan kamar. Ibu memanggil beberapa kali tapi gue menghiraukannya. Gue masuk ke dalam gerasi dan pergi dengan motor. Ibu mulai mengejar ke jalan dan berteriak memanggil. Gue berhenti di sebuah taman tengah kota, memarkirkan motor dan duduk di sebuah kursi.
Gue benar-benar merasa udah dibohongi. Gue sayang mereka tapi kenapa mereka kayak gini? Gue ngga tahu harus pergi kemana, gue ngga mau ada di rumah. Gue akhirnya menelepon Tedy.
“Halo.”suaranya terdengar di seberang.
“Ted, lo bisa nampung gue ga?”
“Kenapa lo? ”
“Biasa.”
“Oh, oke. Ke rumah aja. Mama nanyain kamu juga sih.”
“Ada apaan emang?”
“Ngga tahu. Kangen mungkin. Lo kapan kesini?”
“Bentar lagi. mungkin 15 menit lagi.”
“Oke.”
Akhirnya ada tempat yang bisa gue tuju. Walaupun ini rumah Tedy tapi udah kayak rumah sendiri. Keluarganya juga selalu nerima gue, mungkin karena dulo orangtua Tedy dan orantua gue berteman baik. Gue nyimpan motor di depan gerasi rumahnya. Gue memencet bel dan seorang wanita separuh baya namun masih terlihat cantik membukakan pintu.
“Ayo masuk.”
“Makasih Tante.” Gue masuk ngikutin Tante Manda.
“Tedy ada di kamarnya kok. Kamu nginep disini kan malam ini?”
“Iya Tan. Maaf kalau nanti Rangga ngerepotin.”
“Ngga apa-apa. Kamu udah Tante anggap anak Tante juga.”
“Makasih banget ya Tan.”
“Iya iya. Sekarang lebih baik kamu istirahat. Kalau kamu mau, kamu bisa kamar kosong di samping kamar Tedy.”
“Iya Tan.”
Gue beranjak ke lantai 2 menuju kamar Tedy. Ketika membuka pintu, gue lihat Tedy sedang asyik main game di komputernya.
“Hey”sapanya tanpa menoleh.
“Yo. Jadi malam ini gue tidur dimana?”
“Terserah lo aja. Mau di kamar ini bareng gue atau mau di kamar sebelah.”
“Oke. Gue di kamar aDhik lo aja.”
“Apaan? Kalo berani ngelangkah kesana berarti lo siap mati.” Tedy berbalik menghadap kearah gue yang sedang duduk di tempat tidurnya.
“Oke bos. Becanda. Ngapain  juga gue ngegerayangi anak SMP. Toh gue udah ada cewek ini.”
“Wih. Kapan lo punya cewek?”
“Belum jadi juga sih. Baru kenalan.”
“Ah lo, cantik ga?”
“Cantik.” Gue membayangkan wajahnya yang manis dan senyumannya yang menawan.
“Woy! Hayo mikir yang jorok ya lo?” Tedy membuyarkan lamunan.
“Ngga lah. Itu sih lo.”
“Hahaha. Tumben gini lo bisa naksir cewek. Biasanya lo yang Dhikejar-kejar cewek.”
“Gue juga kan berniat punya istri. Skripsi gue udah mau rampung gini tapi calon pendamping belum ada. Gue kan gengsi juga, Man.”
“Iya juga ya. Gue juga nyari ah.”
“Gila lo. Mau Dhikemanain tuh cewek lu?”
“Oh iya. Gue lupa punya cewek.”
Tedy memang terkenal playboy dan baik ke semua cewek sedangkan gue adalah kebalikannya. Tedy pernah bilang kalau  gue terkenal di kalangan cewek karena “cool”. Padahal gue cuma ngga mau ribet ngurusin masalah cewek dan cukup nyelesain kuliah gue tepat waktu. Ya walaupun gue termasuk anak pembangkang juga. Masuk kuliah buat menuhin absen aja. Tapi tetap, nilai gue itu bersih, tanpa ada campur tangan sogokan dan bujukan.
¥¥¥
Hari ini seminggu setelah kejadian aku menemui Andhika di kafe. Dalam seminggu ini dia terus saja berusaha menemui dan menghubungiku tapi aku coba untuk menolaknya.
Perkuliahan hari ini sudah selesai. PendiDhikan yang aku ambil adalah jurusan Analisis Kimia, dan saat ini aku adalah mahasiswa tingkat 3 di Sekolah Tinggi Analis.
“Sya, ada berita buruk.” Seorang teman dekatku, Sheila, berlari kearahku.
“Kenapa Sheil?”
“Ada Dhika di gerbang utama.”
“Hah? Dia lagi?”
“Iya. Sya, lebih baik kamu hadapi dia deh.”
“Aku mesti kayak gimana Sheil? Apa aku maafin dia aja?”
“Kamu mau maafin dia begitu aja? Kamu tuh terlalo baik Sya. Dia selingkuh dari kamu tuh bukan Cuma sekali. Aku udah sering ngeliat dia sama cewek lain tapi tetep aja kamu diemin. Aku ngga mau liat kamu disakitin dia terus Sya.”
“Jadi aku mesti ngapain?”
“Kamu tinggal bilang ke dia kalo kamu mau putus.”
“Tapi Sheil..” Sebelum aku selesai bicara, Sheila sudah mendorong aku maju ke depan gerbang. Dhika yang sadar akan kedatanganku, datang mendekatiku. Sedangkan Sheila yang tadi ada di belakang punggungku kini sudah menghilang.
“Sya, aku mau ngomong.”
“Iya. Aku juga ada yang mau diomongin.”
“Ya sudah kamu aja dulu, Sya.”
“Oke. Gini Dhika, aku mau kita udahan aja.”
“Eh? Kenapa?”
“Mungkin kamu lebih tahu alasan aku minta putus dari kamu. Jujur saja, bukan aku ngga sayang sama kamu tapi kamu ...”
“Please Sya, maafin aku. Aku janji ngga akan selingkuh lagi. Aku akan tetap setia disamping kamu.”
“Ngga Dhika. Udah cukup.”
Aku meninggalkan Dhika dan pulang dengan Sheila yang mengikutiku di belakang. Sheila memeluk pundakku, dia tahu kalau aku sedang terguncang. Jujur saja, sebenarnya aku belum rela melepaskan Dhika. 1 tahun bukanlah waktu yang sebentar. Bagiku dia adalah orang terpenting setelah keluarga dan sahabatku. Aku pulang disambut dengan senyuman Mama yang riang. Aku memeluk Mama sebentar tanpa berbicara kemudian masuk ke dalam kamar. Sheila masuk ke dalam kamar dengan membawa segelas air.
“Nih minum. Semoga kamu sedikit tenang.”
“Makasih.”
 “Aku pulang ya Sya. Kamu pasti butuh waktu untuk sendiri.” Sheila duduk di sampingku dan memeluk pundakku sebelum dia berlalu.
Aku duduk di tepi tempat tidur dan sesekali memandang ke cermin. Biasanya di saat yang seperti ini, suara orang itu selalu terdengar dan dia pasti menanyakan tentangku. Sedikitnya, suaranya bisa membuat aku lebih tenang dan mungkin bisa membuat aku tertawa. Tapi sekarang suaranya tidak terdengar sama sekali.
“Rangga. Kamu ada?”
5 menit. 10 menit. 20 menit. 30 menit. 60 menit. Sudah satu jam aku menunggu suaranya. Suara tetap saja tidak terdengar.
♫♫♫
Gue akhirnya memutuskan pulang sebelum kembali ke rumah Tedy. Sudah seminggu gue ninggalin rumah. Mobil ayah dan ibu terparkir di depan gerasi. Ketika gue masuk ke dalam rumah, keduanya sedang duduk di ruang keluarga, berhadapan dan terlihat serius.
“Rangga, bisa kesini dulu?”
“Ada apaan?”
“Kami mau membicarakan tentang...”
“Apa?  Tentang perceraian atau tentang perselingkuhan? Kalo tentang masalah itu Rangga ngga mau denger. Selesaikan saja berdua. Rangga cukup tahu hasilnya aja.”
Gue masuk ke dalam kamar. Dan ketika masuk ke dalam kamar, gue melihatnya menatap kaget ke arah gue.
“Siapa kamu?”
¥¥¥
“Siapa kamu?”tiba-tiba aku melihat seorang lelaki mendekatiku dari dalam cermin.
“Oh. Kamu sudah bisa melihatku? Baguslah.” Suara itu.
“Kamu?”
“Iya. Gue Rangga. Rangga Aditya Purnama. Temen kamu dari dunia cermin.”
“Jadi selama  ini kamu melihatku dari cermin?”
“Begitulah.”
“Kenapa bisa begitu?”
“Mana gue tahu.” Aku mendekati cermin. Permukaannya tetap sama, datar. Tapi, kenapa bisa ada dia didalamnya dan kenapa bayanganku tidak muncul?
“Gue juga bingung Sya, kenapa bisa kayak gini. Mungkin ini semua udah takdir kita berdua. Bisa ketemu dengan cara yang ngga biasa.”
“...” aku tetap memandangi cermin dan memandangnya. Rangga seorang lelaki yang tampan, tinggi dan menawan. Tapi gayanya sedikit berantakan, rambutnya melebihi telinga. Dan dari arahku, aku bisa melihat keadaan kamarnya. Kamar yang luas dan sedikit acak-acakan. Kamarnya dipenuhi dengan poster Band luar negeri.
“Eh.”
“Ada apa?”
“Aku bisa melihat sekeliling kamu, apa kamu juga bisa melihatnya?”
“Ya. Sama jelasnya.”
“Jadi selama ini...?”
“Jangan pernah berprasangka jelek sama gue.” Aku melihat raut mukanya tidak senang. Aku sudah menyinggung perasaannya.
“Maaf.”
“Ya udah. Gue biasa aja. Kamu mungkin menyangka begitu karena lihat penampilan gue kayak ini. Rambut panjang dan gaya berantakan. Tapi perlo kamu tau, gue ngga seperti itu.”
“Bukan itu maksud aku. Selama ini kan hanya kamu yang bisa melihat kearahku sedangkan aku tidak.”
“Iya iya. Udahlah.” Rangga berlalo dari cermin, dia beralih ke lemari pakaiannya. Mengambil beberapa potong pakaian dan memasukkannya ke dalam tasnya.
“Rangga, kamu mau kemana?”
“Kemanapun gue pergi, ngga ada hubungannya dengan kamu.”
“Aku kan teman kamu juga.”
“Peduli amat. Kamu hanya teman di dunia cermin. Ngga akan pernah bisa nolong gue.”
“Tapi kan Rangga, setidaknya kamu bisa membagi beban kamu.”
“Buat apa kamu peduli?”
“Karena aku mau.”
“Ngga usah peduli ke gue, toh orangtua gue juga ngga pernah peduli sama gue.”
“Kamu kenapa sih?”
“Gue ngga papa. Yang jelas, jangan peduliin gue!”
“Hey, terserah aku mau peduli sama siapa aja. Dan aku, peduli sama kamu.”
“Apa peduli kamu? Kamu mau nolong? Emang kamu tahu masalahnya?”
“Gimana aku mau tahu masalah kamu, kamu saja belum cerita masalahnya. Makanya kamu ceritain ke aku masalahnya.”
“Sudahlah ngga perlo kamu tahu. Kamu beresin aja masalah kamu dengan pacar kamu itu.”
“Kami udahan. Jadi, jangan bawa-bawa dia lagi.” aku menjawab dengan sedikit ketus.
“Kenapa? Ada yang salah dengan kalian? Apa gara-gara kejadian yang bikin kamu nangis waktu itu?”
“Salah satunya itu, mungkin. Aku mau dia bebas aja. Biarkan dia mencari yang cocok dengannya.”
“Sebenarnya apa yang terjadi waktu itu?”
“Aku ...  melihat dia bersama cewek lain di kafe.”
“Terus kamu diam gitu aja?”
“Aku mendatangi meja dia dan kenalan sama ceweknya.”
“Gitu aja?” raut muka Rangga seperti heran.
“Iya. Emangnya aku harus ngapain?”
“Sya, biasanya kalo cewek digituin sama cowoknya, paling ngga ceweknya bakal nampar atau ngga ya nyiram pake air.” Kini raut mukanya sedikit ramah, berbeda dengan tadi.
“Awalnya sih pengen kayak gitu tapi aku mikir lagi, buat apa aku ngelakuin hal gitu. Mungkin emang salah dari akunya juga.”
“Oke. Gue salut. Gue belum pernah ngeliat cewek kayak kamu. Kasian cowok itu, dia udah menyia-nyiakan kamu gitu aja. Padahal kamu segitu berharganya. Kalau gue jadi cowok itu, mungkin gue bakal berusaha ngejagain kamu.”
“Hahaha. Gombal.” Kami tertawa bersama-sama. Kemudian membicarakan tentang kelakuan Andhika dalam seminggu ini.
“Kamu ngerasa ngga sih kalau perhatian dia ke kamu berubah?”
“Bagi aku perhatian dia sama saja. Dari awal kami pacaran memang perhatian dia kayak gitu. Memang, dalam 2 bulan terakhir ini jarang menghubungiku tapi aku pikir dia memang sedang sibuk dengan pekerjaannya.”
“Oh jadi dia sudah bekerja?”
“Iya. Dia bekerja di perusahaan obat-obatan. Kami bertemu di kampus tempat kuliahku. Kami berbeda 2 tahun. Dia kakak tingkatku.”
“Pantas saja. Kamu dengan dia bertahan berapa lama?”
“Hari ini seharusnya tepat 1 tahun.”
“Wow. Cukup lama juga.”
“Begitulah. Jadi kamu ada masalah dengan siapa? Pacar? Keluarga?”
“Keluarga.”
“Pantas aja kamu membawa beberapa baju. Mau nyoba menghindar?”
“Apa maksud kamu?”
“Iya. Aku pikir kamu mau lari dari masalah. Menghindari keluarga kamu.”
“Jangan sok tau. Kamu ngga akan pernah mengerti masalahnya.”
“Apa masalahnya? Perselingkuhan? Perceriaan?”
“...” Rangga hanya diam.
“Kenapa sih? Apa masalahnya?”
“Ayah dan Ibu berniat cerai.”
“Alangkah lebih baik mencoba merundingkan dulo penyelesaian masalahnya seperti apa. Jangan melarikan diri seperti ini, masalah ngga akan selesain kalau kamu ngga nyelesaiannya. Aku tau kamu tidak suka dengan cara kedua orangtuamu itu tapi coba deh ngertiin mereka juga. Jangan berlaku egois.”
“Gue tau. Gue coba, Sya. Thanks.”
“Iya. Kamu juga udah bantu aku kok.”
“Gue ngga pernah bantu apa-apa.”
“Kamu sedikitnya udah ngehibur aku dan jadi temen curhat aku.”
“Padahal gue ngga berniat ngehibur juga sih.”
“Kamu kok gitu?”
“Haahahaha” dan kami kembali tertawa bersama. Ada suara ketukan pintu, aku melihat ke arah pintu tapi bukan dari arahku dan kembali melihat ke arah Rangga.
“Pintu kamu.”
“Oh iya.” Rangga kemudian berlalo ke arah pintu. Dia berbicara dengan seorang laki-laki, mungkin ayahnya. Pembicaraannya ngga terlalo terdengar, Rangga kemudian kembali ke arahku.
“Sya, gue pergi dulu. Ayah dan Ibu mau bicara. Kamu istirahatlah. Udah malam juga.”
“Iya.” Aku melihatnya pergi keluar. Aku kemudian berganti pakaian di kamar mandi dan kemudian pergi tidur.
♫♫♫
Gue mencoba menghadapi masalah ini seperti yang dikatakan Tasya. Dia benar, masalah ngga akan selesai tanpa ada penyelesaian. Mencoba mengerti karena gue bukan anak kecil ataupun remaja lagi. Ayah dan Ibu menunggu di ruang keluarga. Ayah dan Ibu duduk berdampingan. Gue duduk di hadapan mereka berdua. Ayah mengawali pembicaraan.
“Begini Rangga. Mungkin kamu sudah tau tentang niat kami untuk mengakhiri pernikahan ini.”
“Iya. Rangga akan berusaha menerima semua itu. Rangga akan coba menerima pasangan ayah dan Ibu nanti.” Ayah dan Ibu tersenyum.
“Sebenarnya...” Ibu mencoba berbicara terlebih dahulo tapi dipotong oleh ayah.
“Sebenarnya kami tidak jadi bercerai. Kami masih saling sayang. Lagian wanita itu juga hanya orang lain yang berniat mengganggu hubungan kami.”
“Jadi , perceraian itu?”
“Ibu yang minta. Habisnya Ibu marah sama Ayah.” Ibu memukul ayah dengan manja.
“Maaf, Bu.” Ayah memegang tangan Ibu dan kemudian keduanya berpelukan.
“Ya udahlah. Syukur. Kalian benar-benar orangtua yang aneh.” Gue kembali ke kamar.
Orangtua yang aneh. Padahal gue udah mempersiapkan diri buat menghadapi keputusan terburuk. Ternyata mereka malah mesra-mesraan lagi. Gue kembali ke kamar. Ketika mendekati cermin, Tasya ngga ada.
“Sya?”
“Nggg..” Ternyata dia tidur.
Gue ingat untuk mengabari Tedy kalo gue ngga kembali ke rumahnya. Dan akhirnya malah cerita tentang Tasya ke Tedy. Tedy beberapa kali menanyakan nama Tasya dan dimana gue ketemu Tasya. Tapi gue merahasiakannya. Gue mengakhirinya telepon itu sebelum gue benar-benar  berbicara tentang keberadaan Tasya.
¥¥¥
Aku melihatnya sedang tidur. Dia tidur hanya mengenakan kaus dalam dan celana pendeknya. Selimut hanya menutupi kakinya.
“Rangga. Bangun.”
“Nggg..”
“Ayo bangun.” Dia melirik ke arahku.
“Kamu kuliah hari ini?”
“Cuma mau ke dosen pembimbing aja. Mau bimbingan bab terakhir.”
“Eh? Skripsi? Kamu udah bikin skripsi?”
“Iya. Gue kan udah tingkat akhir. Bentar lagi beres.”
“Aku kira...”
“Gini-gini juga gue ngga pernah bermasalah sama kuliah gue.”
“Tampang preman kamu tuh menipu ya?”
“hahaha. Sialan.”
“Gue anak baik, Sya. Cuma penampilan gue aja sedikit trendi.”
“Iya. Aku berangkat duluan. Ada ujian hari ini.”
“Hati-hati, Sya.”
Aku keluar kamar dan pamit ke Mama yang sedang sarapan bersama Reyhan, adik laki-lakiku.
Kuliah hari ini hanya 2 mata kuliah. Aku selesai kuliah kemudian mencari Sheila. Kami berniat pergi ke mall untuk mencari hadiah ulangtahun pernikahan Mama dan Papa. Besok malam mereka akan mengadakan pestanya. Memang bukan pesta yang besar, hanya mengundang beberapa kerabat saja. Aku menemukan Sheila sedang mengobrol dengan dua orang cowok di tempat duduk dekat tempat parkir.
♫♫♫
Hari ini benar-benar ngga terbayangkan. Seorang cewek cantik membangunkan gue. Dia tersenyum lembut. Benar-benar seperti mimpi. Sayangnya, dia baru berpisah dengan pacarnya. Semoga gue bisa secepatnya menggantikan posisi mantannya dihatinya. Gue membayangkan dia datang ke tempat gue duduk. Dan dia menyapa teman gue.
“Sheil!”
“Eh, ada Tedy juga.” Suara ini seperti suara Tasya.
“Rangga?” Suara ini makin seperti nyata dan saat ini dia memanggil gue. Gue benar-benar lagi mimpi. Dia ada di hadapan gue.
“Woy, Bro! Ngapain lo?”
“Eh?” Semua lamunan gue buyar tapi sosok cantik itu masih ada di hadapan gue.
“Lo ngelamunin apa sih?”
“Eh...” Gue bener-bener ngga bisa ngomong apa-apa.
“Kenalin nih bro. Sahabat cewek gue, Tasya.”
“Oh. Hey, gue Rangga.”
“Aku Tasya.” Kami berjabat tangan. Sosok cantik ini ada di hadapan gue. Dan gue bisa megang dia. Dia duduk di samping Sheila, cewek Tedy. Mereka bertiga asyik mengobrol dan gue sendiri malah asyik memperhatikan Tasya, senyumannya, wajahnya, tingkahnya, dan semua tentangnya.
“Sheil, kapan kita nyari hadiahnya?”
“Oh iya, lupa. Sekarang aja yuk? Kamu mau kan nganter aku, say?”
“Iya iya.” Tedy menepuk bahu. “Bro, lo pulang sendiri ya. Gue mau nganter cewek gue nyari hadiah.”
“Eh?” lagi-lagi gue ngga merhatiin omongan Tedy. Dan ini kesekian kali omongan Tedy yang ngga gue perhatiin.
“Lo kenapa sih? Sekarang lo pulang sendiri, gue mau nganter Sheila ke Mall dulu, nyari hadiah.”
“Oh. Hadiah buat apa, Sheil?”
“Hadiah buat Ulangtahun pernikahan Orangtuanya Tasya. Besok malam acara pestanya. Aku dan Tedy juga diundang. Kamu mau ikut bareng kita?”
“Gue kan ngga diundang. Kalian aja.”
“Kamu juga boleh datang kok.” Tasya berpaling ke arah gue.
“Emang ngga papa Sya?”
“Ngga lah. Datang ya. Ted, nanti kasih tau alamatnya ya.”
“Oke, Sya.”
“Yaudah. Yuk pergi!” Sheila menarik Tasya menuju mobil Tedy. Gue dan Tedy mengikuti di belakang mereka.
“Sorry ya Bro. Lo mesti balik sendirian.” Tedy menepuk bahu.
“Ngga papa. Lagian dari sini ke kampus tuh dekat, gue kan mesti ngebawa motor dulu.”
“Oh iya. Naik apa lo kesana?”
“Naik angkot paling.”
“Oke deh. Gue duluan ya.” Tedy berlalo ke dalam mobilnya. Gue sempat melihat ke arah Tasya yang duduk di kursi belakang. Dia tersenyum ke arah gue. Gue membalas senyumannya dan mobil Tedy pun pergi meninggalkan gue yang masih menunggu angkot.
¥¥¥
Sepulangnya dari Mall, Tedy dan Sheila mengantarkanku sampai rumah, dan aku langsung masuk ke kamar dan mendekati cermin. Aku tidak melihatnya. Hanya kamar luas yang kosong. Kemanakah dia pergi?
Kejadian hari ini mungkin tidak pernah terbayangkan olehku. Rangga muncul di hadapan mataku dan kami berkenalan langsung. Ternyata dia sahabat pacar sahabatku. Rangga ternyata orang yang ada dekat denganku.
Suara Katy Parry dari handphone di tasku membuyarkan lamunanku. Aku mengambil handphoneku dan melihat panggilan yang tertera. Sebuah panggilan dari private nomor. Lagi-lagi private nomor. Dua hari ini banyak sekali aku mendapat panggilan dari private nomor. Hari ini sudah 10 kali aku menerima panggilan dari private nomor. Ketika aku mencoba menerima panggilan dari private nomor pertama kali, aku mendengar suara sesorang yang mengatakan “Rasakan akibatnya dari perbuatan kamu”. Ketika aku bertanya siapa, dia menutup teleponnya. Aku menerima panggilan yang terakhir ini, ada suara gemerisik yang terdengar. Kemudian ada suara yang aku kenal. Andhika.
“Aku ngga terima kamu mutusin aku!”
“Dhika...”tut tut tut.
 Andhika menutup teleponnya sebelum aku sempat berbicara. Bagaimana ini?
 “Sya..” suara Rangga mengagetkanku.
“Eh, kamu.”
“Ada apa Sya?” wajah Rangga terlihat cemas.
“Ngga ada apa-apa.” Aku berjalan menuju jendela.
“Ada apa sih Sya? Kamu cerita aja.”
“Ngga kok. Aku mandi dulu ya.” Aku berlalu menuju kamar mandi.
Setelah keluar dari kamar mandi. Rangga masih berada di tempatnya tadi. Dia menatap kearahku.
 “Rangga, dua hari ini aku mendapat telepon dari private nomor.”
“Berapa kali?”
“sekitar 10 kali.”
“Apa mungkin itu mantan kamu?”
“Andhika maksud kamu?”
“Ya.  Apa dia yang meneror kamu?”
“Aku tidak tahu. Tapi panggilan terakhir memang dari dia.”
“Kapan dia nelepon kamu?”
“Sejam jam yang lalu.”
“Bentar, kenapa kamu bisa tahu itu Andhika?”
“Aku sempat mengangkat teleponnya dan mendengar suaranya. Tapi sebelum aku berbicara, dia sudah menutup teleponnya.”
“Apa yang dia bicarakan?”
“Dia cuma bilang kalau dia ngga terima keputusan aku.”
“Putus?”
“Iya. Tapi Rangga...”
“Apa lagi?”
“Telepon yang pertama kali. Seseorang berbicara, dia bilang kalau aku akan merasakan dari perbuatan aku. Aku tidak mengerti apa maksud perkataanya.”
“Gue pikir dia itu orang yang ingin balas dendam sama kamu.”
“Tapi siapa? Apa mungkin itu Andhika?”
“Kita akan caritahu. Kamu hati-hati aja, Sya.” Ketika itu aku mendengar kaca jendela kamarku pecah, ada seseorang yang masuk. Tanpa sempat melihat orang itu dengan jelas, dia sudah menutup mulutku dengan saputangan. Suara teriakan Rangga terdengan sayup-sayup di telingaku.
♫♫♫
“Tasya!”
“Sial! Kenapa cerminnya kembali di saat yang tidak tepat!” gue melihat Tasya dibekam seseorang. Dan dalam sekejap cermin menjadi buram dan kemudian kembali seperti sediakala. Gue mesti pergi ke rumah Tasya dan ngasih tahu orangtuanya. Gue mengambil jaket dari lemari dan keluar kamar.
“Rangga, kamu mau kemana?” Ibu berteriak di belakangku.
“Rangga mau ke rumah Tasya, Bu.”
“Hah?”
Gue pergi ke alamat yang dikirim Tedy tadi sore. Sebuah rumah 2 lantai dengan cat biru muda. Gue memencet bel, seorang wanita cantik membukakan pintu.
“Permisi Tante, saya Rangga. Apa benar ini rumahnya Tasya?”
“Iya, ada perlu apa?”
“Maaf sebelumnya, saya hanya ingin memberitahu kalau Tasya diculik.”
“Eh? Tadi Tasya ada di kamarnya. Sebentar, tante periksa dulu. Rangga silahkan masuk.” Mamanya Tasya masuk ke sebuah kamar, mungkin itu kamar Tasya.
“Aaaaa!” gue bangkit dan berlari menuju kamar itu, terlihat mamanya Tasya yang sedang duduk bersimpuh menghadap jendela yang terbuka. Jendela dengan kacanya yang pecah.
“Tante, ngga apa-apa?”
“Benar kata kamu, Tasya ngga ada. Bagaimana ini? dia diculik siapa?” mamanya Tasya mulai menangis.
“Mama. Ada apa?” seorang anak laki-laki masuk dan memeluk mamanya Tasya. “Kamu siapa?”
“Saya Rangga. Temannya Tasya.”
“Reyhan, kamu telepon Papa, kasih tahu kakak kamu diculik.”
“Apa?”
“Cepat Rey!” anak laki-laki berlari keluar.
“Ayo Tante kita keluar dari sini dulu. Tante duduk di kursi supaya tenang.” Gue memapah Mamanya Tasya ke sofa.
“Rangga, Tante minta bantuan kamu. Tolong cari dan selamatin Tasya. Memang kita baru saja bertemu, tapi tante percaya kamu.”
“Iya Tante. Saya pamit dulu.”
“Hati-hati ya Rangga.”
Gue pergi dari rumah Tasya dan pergi ke rumah Tedy. Gue memencet bel dan Tedy membukakan pintu.
“Bro, ayo pergi!”
“Hah? Kemana?”
“Nyari Tasya. Dia diculik.” Tedy terlihat kaget.
“Becanda lo ya?”
“Emang muka gue keliatan lagi becanda?”
“Ngga sih. Tapi lo tau darimana?”
“Sekarang bukan waktunya ngejelasin itu tapi barusan gue juga dari rumah dia. Dan dia beneran ngga ada, mamanya juga malah nyuruh gue buat nyari Tasya. So, ayo pergi!”
“Iya tapi pergi kemana?”
“Ke rumah Andhika, mantannya Tasya. Mungkin dia tahu.”
“Tapi kita kan ngga tau alamatnya dia.”
“Tanya cewek lo lah. Cewek lo kan satu kampus sama dia, Bro. Lagian cewek lo juga sahabatnya Tasya.”
“Oh iya.” Tedy mengeluarkan handphone dan menelepon Sheila. Beberapa saat mereka berbicara.
“Di perumahan Mekar Wangi Blok M, no.3.”
“Oke. Ayo pergi.”
“Bentar gue bawa jaket sekalian pamit ke Mama.”
Alamatnya menunjuk ke sebuah perumahan elit di kota Bandung. Perumahan dengan semua rumah berlantai 2 dan mewah. Gue berhenti di sebuah rumah bercat kuning. Gue memencet bel dan seorang wanita berpakaian sederhana membukakan pintu.
“Maaf, mbak. Apa benar ini rumah Andhika?”
“Iya, tapi Mas ini siapa ya? Temennya Den Dhika?” Mungkin wanita ini pembantunya.
“Iya. Kita temennya.”
“Oh silahkan masuk. Mohon tunggu sebentar.” wanita itu meninggalkan Gue dan Tedy yang terpaku melihat rumahnya Andhika.
“Gile, Bro. Nih orang, kaya bener. Udah tinggal di perumahan elit, rumahnya gede, punya pembantu, dan lo liat tadi di gerasinya? Mobilnya banyak. Ada 4 gitu.”
“Jangan ribut, Ted. Duduk yuk.” Seorang cowok tinggi dan tegap mendekat, mungkin itu Andhika.
“Maaf, apa gue kenal kalian? Ada perlu apa kalian nyari gue?”
“Gue kesini cuma mau nanyain keberadaan Tasya.”
“Memangnya siapa kamu?”
“Gue Rangga, pacarnya Tasya.”
“Eh? Bro?” Tedy kaget dengan pernyataan gue. Dan gue juga ngga tahu ngomong kayak gitu.
“Oh jadi, lo yang bikin dia ngga mau balik ke gue.” Andhika mendekat ke arah gue.
“Itu sih bukan gara-gara gue. Emang lo ngga pantes buat dipertahanin lagi. Lo udah selingkuh dari dia.” Gue berdiri.
“Tapi lo juga udah ngerebut dia dari gue?”
“Gue ngga pernah ngerebut dia.”
“Stop! Kalo kalian mau ribut, jangan sekarang bro! Balik ke niat awal kita, Bro!” Tedy menjauhkan gue dan Andhika yang udah siap adu terjang.
“Oke! Gue kesini cuma mau nanyain Tasya.”
“Ngapain lo nanya ke gue? Lo kan cowoknya dia?”
“Tapi lo yang nelepon dia terakhir pake private nomor. Dan gue curiga, lo yang udah bawa dia pergi.”
“Eh? Maksud lo, Tasya diculik?”
“Iya. Dan gue curiga, lo yang ngelakuin itu.”
“Gue sekarang ada di depan lo ya. Ngga mungkin gue juga yang nyulik dia. Kapan dia diculik?”
“Sekitar 1 jam setelah lo nelepon dia.”
“Terus lo ngapain nuduh gue segala?”
“Gini ya Dhik. Belakangan ini dia di teror. Dia dapat telepon dari private nomor. Dan lo nelepon dia pake private nomor juga. So, lo satu-satunya yang bisa dijadiin tersangka.”
“Gue nelepon dia pake private nomor karena tahu dia ngga akan curiga itu gue. Dan gue cuma nelepon dia 1 kali dan itupun cuma sebentar. Handphone gue keburu mati.”
“Kalo bukan lu, terus siapa?”
“Mana gue tahu.” Tedy terlihat memikirkan sesuatu.
“Kayaknya gue tahu sesuatu.”
¥¥¥
Ruangan ini gelap dan aku ngga bisa bergerak. Mulutku disumpal dengan selotip besar. Kaki dan tanganku diikat tali. Ini dimana? Kenapa aku berada disini? Aku mencoba mengingat-ingat kejadian sebelumnya. Terakhir aku sadar, ketika aku di kamar dan berbicara dengan Rangga. Kemudian ada suara jendela kamarku yang pecah, seseorang mendatangiku dan aku lupa kejadian selanjutnya.
Pintu ruangan itu terbuka, ada cahaya yang masuk. Terlihat seseorang mendekatiku, dari bayangannya aku melihat dia seorang yang tinggi dan berambut panjang.
“mmm”
“Kenapa kamu? Mau minta dilepasin? Ngga akan!” Siapa dia? Aku tidak mengenal suara ini.
“Aku akan melepaskan kamu nanti setelah pacar kamu datang.” Pacar siapa maksud dia? Aku tidak memiliki pacar. Dia meninggalkanku dan menutup pintu. Ruangan menjadi gelap lagi.
♫♫♫
Andhika menunjukkan sebuah email. Andhika sebelumnya ngga ngerti apa maksud dari email itu. Email itu hanya bertuliskan “Datanglah sebelum terlambat” dan sebuah foto rumah.
Gue, Andhika, dan Tedy pergi ke rumah yang ditunjukkan di dalam email itu. Gue dan Tedy tetap memakai motor dan Andhika memakai mobilnya. Tapi sebelumnya berangkat, Tedy menelepon Sheila untuk memintanya menyusul dan untuk memanggil polisi.
Rumah itu sepi. Ngga ada rumah terdekat di sekitarnya. Ada sebuah mobil yang terparkir di depan rumah itu.
“Dhik, lo kenal mobil ini?”
“Ya. Ayo masuk. Tapi inget, lo hanya boleh nyelamatin Tasya. Urusan sama penculik, itu urusan gue.”
“Oke!”
Andhika dan gue bersamaan mendobrak pintu dan seorang cewek cantik sedang duduk di kursi menghadap ke pintu.
“Hello, Sayang. Akhirnya kamu datang. Aku udah nunggu kamu lho.”
“Apa apaan kamu, Gys? Dimana Tasya?”
“Kenapa sih Dhik, kamu cuma mikirin Tasya doang.”
“Ya karena aku sayang dia, Gys.”
“Oh, dan kamu ngga sayang sama aku?”
“Bukan gitu. Dimana Tasya, Gys?”
“Aku ngga akan kasih tahu kamu!”
“Gyska. Please lepasin dia. Jangan bawa-bawa dia lagi dalam urusan kita.”
“Itu karena kamu lebih milih dia.”
Selagi mereka ribut, gue pergi mencari Tasya sendiri. Gue mencoba nyari di beberapa ruangan tapi ngga ada. Dan hanya sebuah ruangan di ujung yang tersisa. Kunci ruangan itu tergantung dan aku masuk. Gelap. Sepertinya tidak ada apa-apa disini. Dimana Tasya? Kenapa dia ngga ada di setiap ruangan?
“mmmm” terdengar sebuah suara yang tidak jelas.
“Apa itu?”
“mmmm...” gue mengeluarkan handphone dan menunjukkan cahaya ke seisi ruangan. Seseorang terikat di lantai. Tasya.
“Sya?” gue membuka seluruh ikatannya dan membuka selotip yang menutup mulutnya.
“Rangga, gue takut.” Tasya memeluk gue dengan erat.
“Sekarang kan udah ada gue disini.” Gue menepuk kepalanya dan membantunya berdiri. Gue memegang tangannya dan berjalan keluar.
Gue mendengar Tedy masih bertengkar dengan cewek itu. Ketika sampai di ruangan mereka, cewek itu sedang memegang pisau.
“Kalo kamu ngga bisa jadi milik aku, lebih baik aku mati.” Cewek itu menusukkan pisau ke dalam perut dan seketika darahpun muncul di bajunya. Tedy menahan cewek itu jatuh.
“Rangga. Tolong telepon ambulan.”
“Eh? Oke.”
Gue mengeluarkan handphone dan menelepon panggilan darurat. Tasya yang berada di samping gue, terlihat semakin shock. Dia mengalami hal yang cukup berat hari ini. Tedy yang dari tadi menunggu di luar, masuk ke dalam rumah dan kaget seketika.
“Kenapa ini?”
“Ya seperti inilah. Mana polisi dan mobil Ambulannya?”
“Polisi bentar lagi nyampe. Sheila juga bentar lagi kesini. Dia bawa mobil buat ngejemput.”
Ngga lama mobil ambulan dan polisi datang. Wanita itu,  Gyska, dia dibawa ke rumah sakit. Andhika menemaninya. Polisi menyuruh gue dan yang lain ke kantor polisi untuk ditanya beberapa informasi.
Setelah semua sesi tanya selesai, Tasya terlihat masih shock di kursi tunggunya. Sheila dan Tedy duduk di sampingnya.
“Ayo pulang.” Gue mendekati mereka dan berdiri di hadapan Tasya.
“Lo udah selesai, Bro?” Tedy berdiri.
“Udah. Ayo pulang. Sya, kamu pulang dianter Sheila sama Tedy ya.” dia ngga menyahut. “Sya?”
“Iya?” dia menengadah ke arah gue.
“Kamu pulang dianter Sheila sama Tedy ya.”
“Aku, aku mau dianter kamu aja.”
“Yaudah lah Rangga. Kamu anterin dia aja. Biar aku nganterin Tedy doang, kan kamu juga udah dititipin Tasya sama mamanya.”
“Iya iya. Ayo!”
 Selama perjalanan, Tasya ngga berbicara sedikit pun. Gue berhenti di depan rumahnya.
“Sya, udah nyampe.”
“Oh iya.” Dia turun dan memberikan helmnya. Gue memarkirkan motor dan berdiri di sampingnya.
“Makasih. Udah nolongin aku, makasih udah nganterin aku, dan makasih...” dia terlihat seperti menahan airmatanya. Gue memegang tangannya.
“Sya, jangan nahan perasaan kamu. Cerita ke aku.” Dia mulai menangis.
“Rangga, gara-gara aku Gyska seperti itu. Dia hampir mati gara-gara aku...”
“Bukan karena kamu, Sya. Dia memang terlalu sayang sama Andhika sedangkan Andhika masih sayang sama kamu.”
“Harusnya aku ngga ada aja. Semua tersiksa gara-gara aku.”
“Jangan seperti itu, Sya.” Gue menarik Tasya ke dalam pelukan. Dan dia benar-benar menangis sekarang. Gue membiarkan dia mencurahkan semua bebannya. Setelah sekian lama dia menangis, akhirnya ia berhenti menangis, melepaskan pelukan gue dan menatap gue.
“Makasih banget.”
“Iya. Kamu cepet masuk. Keluarga kamu udah nunggu, mereka khawatir sama kamu.”
“Iya. Besok dateng ya.”
“Pasti.”
Gue meluncur pulang ke rumah setelah Tasya masuk ke dalam rumahnya. Ibu menunggu di dekat pintu gerasi.
“Udah makan malam?”
“Belum, Bu. Lupa.”
“Yaudah. Sini makan. Tadi ibu masak makanan kesukaan kamu.” Ibu menghangatkan beberapa makanan. Gue makan ditemani Ibu. Udah lama rasanya, gue ngga makan di rumah kayak gini. Setelah hampir selesai makan, Ibu mulai berbicara.
“Jadi, Tasya itu siapa?”
“Uhuk..uhuk..” makanan terakhir yang belum ditelan hampir saja keluar lagi gara-gara kaget.
“Minum dulu nih. Kok kamu kaget gitu sih? Pacar kamu?”
“mm.. bukan, Bu. Cuma temen.” Ibu cuma mengangguk-ngangguk. Gue tahu Ibu ngga percaya dengan jawaban gue.
“Oh. Nanti deh Ibu tanya ke Tedy aja.”
“Iya deh Bu. Dia calon aku.”
“Yee. Akhirnya. Kapan kamu mau ngenalin ke Ibu?”
“Belum saatnya, Bu. Nanti kalo statusnya udah jelas aja.”
“Oke, Ibu tunggu. 1 minggu ya.”
“Eh?”
“Ngga sabar, Rangga. Ibu kan mau ada temen di rumah.”
“Eh? Ibu di rumah? Kantor ibu?”
“Ibu ngga akan full di kantor lagi. ke kantornya cuma seminggu sekali aja. Kan ibu mau jadi istri rumahan lagi, biar ayah kamu ngga melirik kanan-kiri lagi.”
“Iya iya deh.”
“1 minggu lagi ya?”
“Terserah Ibu aja deh.” Gue bangkit dari kursi dan meninggalkan Ibu.
Gue masuk ke dalam kamar dan mendekat ke cermin, mencari sosoknya, tapi yang ada hanya bayangan gue sendiri.
¥¥¥
“Hey, bangun sayang. Udah siang.” Mama menarik selimutku dan menepuk-nepuk pipiku.
“mmm..”
“Ayo bangun, sayang. Kita mesti siap-siap.”
“Ada apaan sih, Ma?”
“Malam ini kan ada pesta sayang. Kamu belum nyoba gaun yang udah Mama siapin buat kamu.”
“Masih ngantuk, Ma.”
“Mama tunggu kamu di meja makan setengah jam lagi. Setelah itu, kita pergi ke butik buat ngambil gaunnya.”
“Iya, Ma.”
 Setelah mandi, aku ke meja makan, semuanya sudah menunggu.
“Kakak lama ih.” Reyhan yang mulai menggerutu.
“Maaf, Rey.”
“Kak, nanti malam, Kak Rangga kesini juga?”
“Eh?”
“Kamu ngundang dia kan, Sayang?” Mama ikut angkat bicara.
“Papa juga mau ngucapin makasih buat dia udah nolong kamu.” Dan sekarang Papa pun ikutan.
“Bentar, kenapa semua kenal Rangga?”
“Ya. Karena kami tau kamu diculik dari Rangga. Dia, cakep ya.” Mama tersenyum dan mengerlingkan mata ke arahku.
“Mama!”
“Iya, Pa. Dia tetep kalah sama Papa kok.” Mama memegang tangan Papa.
Setelah makan, aku dan Mama pergi ke butik dan mengambil gaun yang akan dipakai nanti malam. Mama mengajak ke salon langganan dan kami pulang ke rumah 1 jam sebelum pesta dimulai.
Aku berganti baju dan memakai sedikit riasan. Aku membantu mama untuk mengecek kembali keperluan yang sudah disiapkan. Mulai dari makanan, minuman, hiasan, dan yang lainnya. Pesta mulai jam 7 malam. Beberapa rekan papa dan teman-teman arisan Mama udah datang.
Terdengar suara bising motor di luar, dan sepertinya itu Rangga. Aku keluar dan menyambutnya.
“Hey.” Dia menghampiriku.
“Hey. Aku kira kamu ngga akan datang.”
“Aku pasti datang kok. Tedy sama Sheila udah datang?”
“Tadi sih Sheila sms, dia datangnya telat, Tedy nya lupa ada pesta ini.”
“kebiasan tuh orang. Mama sama Papa kamu mana?”
“Ada di dalam. Mereka udah nunggu kamu.”
“Eh? Ada apaan?”
“Ngga tahu.”
“Yaudah. Yuk!” Rangga menggandengku tanganku. Dia terlihat tampan. Rambut panjangnya udah dipotong rapi. Ketika di hadapan Mama dan Papa, aku melepaskan tangannya.
“Pa, Ma, ini Rangganya.”
“Hey, Rangga.”
“Malam Tante, Om.”
“Oh ini. Semalam kamu ngga sempet ketemu sama saya kan? Terimakasih ya udah nolong putri saya.”
“Iya, Om. Sama-sama.”
“Hello Kak Rangga. Maafin aku semalam ya.” Rey yang
“Ngga papa kok Rey.” Mama dan Papa banyak nanya  Rangga, tentang kuliah, keluarga, dan hal lainnya.
“Papa sama Mama banyak nanya deh.” Aku mulai kesal dari tadi didiemin.
“Yaudah deh. Sya, ajak Rangga sana. Ambil makanan atau minuman gitu.”
“Iya. Yuk!”
Akhirnya aku mengajaknya mengambil minuman. Dia mengambil segelas cola. Kami berkeliling taman, dan duduk di kursi. Setelah beberapa saat terdiam, Rangga mulai berbicara. Dia menatapku lekat.
“Sya, gue mau jujur aja. Sebenarnya gue udah suka sama kamu dari pertama ngeliat. Dan pas liat kamu nangis, gue malah jadi sayang. Gue emang ngga bisa berkata-kata manis kayak Andhika. Dan gue juga ngga bisa menjanjikan apa-apa. Mungkin nanti kamu bakal sering ngerasain dingin dan cueknya sikap gue. Tapi tolong ketika saat itu terjadi, ingetin gue. Gue emang ngga pernah sayang sama orang, karena gue tahu gue nunggu seseorang yang pantes gue sayangi, dan itu kamu.”
“...”
“Kalo kamu ngga bisa jawab sekarang, gue bisa nunggu kok.”
“Aku sebenarnya bukan orang yang cuek tapi aku orang yang menahan perasaan. Tapi kalo kamu minta suatu saat nanti aku ingetin kamu, mulai sekarang aku bakal jadi orang yang selalu ngingetin kamu buat sayang sama aku.”
“Itu berarti kamu mau jadi sama gue?”
“Kamu mau nunggunya berapa lama?”
“Seminggu aja sih.”
“Kok?”
“Abisnya, Mama ngasih waktu buat ngenalin kamunya sampe minggu depan.”
“Kalo aku tetep ngga terima kamu, gimana?”
“Ya, mungkin Mama yang langsung ngelamar kamu.”
“Itu sih parah.”
“Yah, begitulah.”
“Hayo, lagi ngapain kalian?” Sheila dan Tedy menghampiri kami.
“Ngga ngapa-ngapain kok.”
“Wih, rambut lo dipotong, Bro? Kenapa? Mau lamar kerja atau lamar Tasya nih?”
“Lamar ini dulu lah. Lamar kerjanya nanti abis wisuda.” Rangga menyikut tanganku.
“Asik. Jadi nih lo punya pendamping wisuda?”
“Jadi dong. Iya kan, Sya? Bukannya lo mau nyari lagi?” Rangga balik bertanya ke Tedy.
“Eh? Apa? Jadi gitu Ted? Kamu mau nyari lagi pengganti aku?” Sheila mulai terlihat kesal.
“Ngga kok, Say. Aku tetep setia sama kamu. Itu sih karangan dia aja. Ah lo ngga asik, Rangga. Awas lo!”

Kehidupan serasa berubah dalam sesaat. Karena sebuah cermin aku bisa mendengar suaranya. Karena sebuah cermin aku bisa bertemu dengannya. Karena sebuah cermin kami bisa saling bercerita. Dan karena sebuah cermin dia bisa menolongku. Dua suara, dua mata, dua hati dan dua kehidupan yang terhubung karena sebuah sebuah cermin. Hidup ini adalah rahasia. Semua hal bisa terjadi. Semua kehidupan bisa terhubung dengan kehidupan lainnya. Jadi bagaimana dengan kehidupanmu? Lihatlah cermin di kamarmu! Apakah menunjukkan kehidupan lain?

Selesai

0 komentar:

Posting Komentar

 

Life is an Adventure Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea