Rabu, 02 Januari 2013

Like a Bird in the Cage

Diposting oleh thewins di 09.48
Cerpen

Like a Bird in the Cage
Sekolah Shizuoka Ken Seien Joshi Gakuen adalah sebuah sekolah putri yang ketat dan disegani. Hampir seluruh siswinya berasal dari keluarga kaya dari seluruh pelosok negeri. Orangtua memasukkan anak-anaknya ke sekolah ini berharap anak-anaknya dapat dididik menjadi seorang putri yang bisa menjadi pewaris ataupun calon menantu yang pantas dikalangannya.
Aku, adalah salah satu siswi dan sekaligus ketua OSIS di sekolah ini. Saat ini aku adalah siswi tingkat 3 yang sebentar lagi lulus dari sekolah ini. Selain menjadi ketua OSIS, aku pun menjadi ketua di Ikebana Club, sebuah klub untuk orang-orang yang ‘menyukai’ seni merangkai bunga.
Hari ini tepat tanggal 25 April 2012 dan hari ulangtahunku yang ke 18. Aku pergi ke sekolah seperti biasa, dengan mobil dan pengawal yang selalu menemaniku. Sebenarnya aku kurang nyaman dengan hal seperti ini. Tapi bila tidak seperti ini, aku tidak akan pernah diperbolehkan masuk ke sekolah dan bertemu dengan teman-temanku.
Saat tiba di gerbang sekolah, teman-temanku sudah menunggu kedatanganku. Mereka mengucapkan selamat atas ulangtahunku. Aku melangkah masuk ke dalam sekolah dan mengganti sepatuku. Dan berjalan menuju kelasku yang berada di ujung lantai 2. Bel berbunyi dan pelajaran pun dimulai. Sama seperti hari-hari biasa, pelajaran terasa membosankan. Dan aku selalu menjadi bahan tunjukkan guru-guru. Guru-guru selalu bilang, “Lihatlah Misaki, dia selalu bisa menjawab semua pertanyaan” dan  jujur saja, aku bosan selalu diperlakukan seperti ini. Aku memang ketua OSIS dan mendapatkan juara Umum di setiap semester walaupun nyatanya aku mendapatkannya tanpa belajar dengan sungguh-sungguh. Tapi semua prestasiku aku dapatkan dengan kemampuanku sendiri. Aku mendapatkan pelajaran bukan hanya di sekolah melainkan juga di rumah. Nenek memberikan guru les untuk setiap hal, mulai dari pelajaran di sekolah, etika, sampai Ikebana.

Aku pulang ke rumah sekitar jam 6 sore dan disambut dengan sebuah pesta ‘kecil’ yang diadakan ayah dan nenekku. Aku memang hidup bersama mereka berdua, tanpa ibu. Ibu telah lama meninggal, mengalami kecelakaan mobil di daerah Osaka. Pesta yang diadakan nenek penuh dihadiri oleh teman-temannya di Ikebana dan teman-teman ayah. Mungkin dari sekian banyak tamu hanya beberapa yang aku kenal. Nenek memanggilku dan menyuruhku untuk berganti pakaian dan akan mengumumkan pertunanganku. Setelah berganti pakaian, Nenek membawaku ke depan semua tamu dan mengambil sebuah pengeras suara.
“Maaf semua, perkenalkan ini cucu saya, Tachibana Misaki. Hari ini adalah hari ulangtahunnya yang ke-18. Dan mulai saat ini saya akan mempersiapkan calon tunangannya beserta pesta pertunangannya. Yang berniat memperkenalkan anak atau kerabatnya harap hubungi saya terlebih dahulu dan memberikan fotonya. Terimakasih, silahkan lanjutkan pestanya.”
Nenek membawaku kembali ke tempat tadi nenek berkumpul dengan teman-temannya. Dan sekarang semakin banyak orang yang menghampiriku dan berbasa-basi ingin mengenalkan anak ataupun kerabatnya. Aku meminta izin untuk pergi berjalan-jalan di taman. Rumah ini memang sedikit luas. Rumah dengan gaya rumah kuno Jepang dengan taman dan kolamnya. Dan dikelilingi pagar setinggi 1,5 meter. Aku melihat ayah sedang sendirian di dekat kolam. Aku menghampirinya.
“Ayah, sedang apa?”
“Aa, Misaki. Tidak, ayah sedang menghirup udara malam saja. Kenapa kamu kesini?”
“Di dalam terlalu banyak orang.”
“Baiklah. Misaki, jujur saja ayah sedih memikirkan kamu.”
“Aku? Kenapa ayah sedih memikirkan aku?”
“Kamu hanya tinggal dengan ayah dan nenek. Kamu kurang kasih sayang dari Ibu kamu. Dan kamu tidak pernah sedikitpun membantah kepada nenek ataupun ayah. Hari ini, nenek mengumumkan tentang pertunangan kamu tapi tidak ada bantahan sedikitpun dari kamu. Ayah ingin tahu perasaan kamu sebenarnya. Dan memikirkan hal itu membuat Ayah sedih.”
“Maaf ayah. Aku memang tidak berniat membantah apapun. Tentang pertunanganku, aku bisa menerimanya. Nenek mungkin mempunyai calon yang baik untukku.”
“Baiklah. Mengenai Ikebana yang dikelola keluarga, apakah kamu ingin meneruskannya?”
“Tentu saja, Yah. Kalau bukan aku siapa lagi?”
“Bukan masalah siapa atau siapa. Ayah hanya ingin kamu melakukan apa yang kamu inginkan saja.”
“Aku tidak pernah memikirkan hal lain selain meneruskan Ikebana ini. Ikebana ini kan sudah menjadi warisan turun menurun.”
“Maafkan ayah Misaki. Kalau saja Ibu kamu masih ada, mungkin Ikebana ini masih dikelola oleh Ibu kamu dan kamu tidak usah memikirkan Ikebana dan juga calon tunangan kamu.”
“Sudahlah Yah. Jangan terlalu larut dalam kesedihan. Ibu sudah tenang disana. Oh iya ayah, aku kembali ke dalam ya. Aku takut nenek mencariku. Bisa-bisa nenek sama seperti waktu itu.”
Kami tertawa bersama-sama mengingat kejadian waktu itu. Nenek menyuruh semua pengawal mencariku dan nenek juga melaporkan ke polisi, padahal saat itu aku sedang berada di gudang menyimpan barang.
“Misaki, darimana saja kamu?”
“Aku di dekat kolam nek. Bersama ayah. Ada apa?”
“Hampir saja nenek menyuruh semua pengawal untuk mencari kamu. Pesta sebentar lagi berakhir, apakah ada yang ingin kamu sampaikan di depan semua tamu?”
“Tidak ada Nek, sampaikan saja terimakasih kepada semuanya. Aku mau istirahat saja. Besok ada test di sekolah.”
“Ya sudah. Istirahatlah sana.”
Aku beranjak pergi ke kamarku dan mengunci kamarku rapat-rapat. Kemudian aku pergi ke kamar mandi dan berendam sebentar. Aku masuk ke tempat tidur dengan buku di pangkuanku. Jam menunjukkan jam 23.30. Aku sedikit mengantuk dan akhirnya mengurungkan niatku untuk membaca buku. Aku terbangun oleh suara decitan dari jendela kamarku. Seseorang telah masuk ke kamarku. Tinggi dan gelap. Aku hendak menyalakan lampu di sampingku tapi tangan orang itu mencekalku dan membungkam mulutku dengan saputangan.
♫♫♫
Kepalaku terasa berat. Aku melihat sekelilingku. Aku berada di dalam ruangan yang dipenuhi  kardus-kardus besar. Tanganku diikat ke belakang dengan posisi terbaring di lantai. Pintu ruangan dibuka dan seorang lelaki masuk. Dia memiliki wajah yang cantik untuk ukuran seorang lelaki, rambutnya panjang diikat ke belakang dan memiliki tinggi sekitar 180  cm. Dan dia menghampiriku, berjongkok di depanku, dan menatapku cukup lama.
“Mungkin kamu kaget aku menyekapmu disini.”
“Kamu siapa? Kenapa aku ada disini? Salahku apa?”
“Tenang. Aku tidak akan melakukan hal yang aneh terhadap kamu. Aku hanya ingin meminta waktumu beberapa hari.”
“Kenapa?”
“Tak apa. Oh iya Misaki, kamu bisa memanggilku Kei.” Dia beranjak berdiri dan hendak meninggalkan ruangan ini.
“Tunggu sebentar Kei. Tolong lepaskan tali yang mengikatku ini.”
“Oke oke. Nanti ada anak yang akan melepaskan kamu.” Dia keluar dari ruangan dan tak lama kemudian ada seorang anak laki-laki masuk dan menghampiriku. Dia melepaskan tali yang mengikatku.
“Kakak siapanya Kak Kei? Pacar Kak Kei?”
“Mana mungkin seorang pacar diperlalukan seperti ini. ”
“Oh iya ya. Terus kakak siapanya Kak Kei?”
“Lebih baik kamu tanyakan saja kepada Kei-mu itu. Dia itu kakakmu ya?”
“Bukan kok Kak. Aku ketemu kak Kei di rumah sakit, Kak Kei membantuku membayar biaya rumah sakit nenek dan setelah nenek meninggal aku tinggal bersama Kak Kei.”
“Oh. Sejak kapan kamu tinggal bersama Kak Kei?”
“Sekitar 3 bulan.”
“Baik juga ternyata ya. Oh iya, nama kamu siapa?”
“Ken, nama kakak siapa?”
“Misaki.”
“Baiklah Kak Misaki, ayo ikut aku. Kak Kei menunggu kita di depan.” Dia menarikku keluar dan aku melihat Kei sedang duduk diatas sebuah sepeda motor.
“Ayo ikut aku.” Kei memberiku sebuah helm dan menarikku naik ke motornya.
“Ken, kamu bisa pulang sendiri kan?” Kei bertanya kepada Ken yang sedang melihatku.
“Iya Kak. Kakak nanti pulang jam berapa? Apa mau aku masakkan makan malam?”
“Mungkin jam 7 malam. Tidak usah, nanti aku bawakan makan malam untuk kita bertiga. Ya sudah, kita berangkat ya.” Kei menyalakan motor dan mulai menjalankan motornya. Aku melihat Ken melambaikan tangannya dan aku membalas lambaiannya.
Kei memberhentikan motornya di depan sebuah dermaga. Dia memberikan tasnya kepadaku dan menyuruhku masuk ke dalam sebuah ruangan.
“Misaki, sekarang kamu berganti pakaianlah dulu. Pakaiannya ada di dalam tas. Aku menunggumu di depan dermaga, nanti aku akan memperkenalkan kamu dengan pegawai-pegawai yang disini.”
“Iya.” Aku masuk ke ruangan. Ruangan ini seperti kamar seseorang, mungkin kamar Kei atau siapa. Pakaian yang diberikan Kei cukup sederhana, sebuah kaus dan celana panjang. Setelah berganti pakaian, aku keluar dan pergi menemui Kei. 
“Misaki, kenalkan ini beberapa pegawai disini. Yang ini Pak Nakagawa, Pak Shigeyoshi, Pak Satoshi, dan yang ini Ibu Nakamura. Kamu bisa bertanya kepada orang-orang ini. Kamu akan bekerja disini bersama Ibu Nakamura.” Aku bingung dengan apa yang dikatakan Kei.
“Kei, apa yang aku kerjakan nanti?”
“Nanti kamu tanyakan saja ke Bu Nakamura. Semuanya ayo kita kembali bekerja.”
Kei meninggalkan aku dengan kebingungan yang terjadi. Semua kembali kerja. Aku mengikuti Ibu Nakamura ke dekat sebuah perahu.
“Misaki, sekarang kita pisahkan ikan menurut jenisnya, setelah itu pisahkan juga menurut ukurannya.”
“Baik, bu. Tapi maaf sebelumnya bu, pemilik perusahaan ini siapa ya?”
“Eh? Kamu tidak tahu?” Ibu Nakamura melihatku dengan bingung.
“Tidak bu. Kei tidak menceritakan apa-apa.”
“Saya kira kamu sudah mengetahui semuanya sehingga memilih bekerja disini. Perusahaan ini diselamatkan oleh Kei ketika perusahaan ini akan bangkrut. Dia menyelamatkan kami yang bekerja disini.”
“Oh begitu.”
“Jadi kenapa kamu memilih kerja disini?”
“ Tidak tahu, Bu. Kei yang membawa saya kesini.”
“Oh. Kalian sedang berhubungan?”
“Tidak tidak. Kami tidak ada hubungan apapun.”
“Mungkin saat ini tidak tapi suatu saat nanti iya. Dia belum pernah membawa wanita satupun kemari dan Kei orang yang baik.”
Aku hanya bisa tersenyum dan melanjutkan pekerjaan. Sekitar jam 5 sore Kei menghampiriku. Aku tidak tahu dia pergi kemana satu harian ini.
“Misaki, ayo kita pergi.”
“Kemana lagi?” Kei mengacuhkanku dan mendekati Ibu Nakamura.
“Bu, kami pulang duluan. Ibu juga sudah boleh pulang. Mungkin besok Misaki dan saya tidak akan kemari.”
“Baiklah. Oh iya, kamu berhutang cerita kepada Ibu ya.”
“Siap. Salam untuk Satsuki ya.” Kei kembali menghampiriku dan membawaku ke tempat dia menyimpan sepeda motornya.
“Nih. Ayo naik.”
Aku naik ke motornya dan dia mulai menjalankan motornya keluar dari  wilayah dermaga. Dia membelokkan motornya ke sebuah supermarket.
“Ambillah beberapa barang yang kamu perlukan.”
“Tapi, siapa yang akan bayar semuanya?”
“Tenang saja. Aku akan menanggung biaya semuanya.”
“Aku tidak mau berhutang kepadamu.”
“Kalau begitu bayar dengan kerja keras kamu. Selain itu, yang membawamu jauh dari rumah kan aku jadi aku yang harus bertanggungjawab atas kamu.”
“Aku tetap akan membayarnya. Tapi nanti, setelah kamu memperbolehkan aku pulang ke rumah.”
“Terserah kamu. Sekarang cepatlah kamu memilih barang yang kamu butuhkan.”
Aku masuk ke dalam supermarket dan Kei mengikutiku di belakang. Aku mengambil beberapa perlengakapan mandi dan beberapa helai pakaian sedangkan Kei berjalan ke tempat makanan. Setelah selesai, aku menghampirinya. Dia belum mengambil makanan satupun.
“Kei, apa yang ingin kamu beli?”
“Aku bingung harus membelikan apa untuk Ken. Aku tidak pernah memasakkan makanan untuk dia.”
“Jadi selama ini kalian makan apa?”
“Biasanya kita diberi makanan oleh tetangga tapi sudah satu minggu lebih tetangga kita pulang ke kampung halaman orangtuanya dan seminggu ini kita hanya makan makanan instan atau makan di luar.” Dia menerawang jauh.
“Ya sudah. Biar aku saja yang pilihkan.”
Aku memilih beberapa bahan makanan, Kei hanya mengikutiku di belakang. Kei membayar semua belanjaan. Kami melanjutkan perjalanan. Kei memberhentikan motornya di depan sebuah apartemen bertingkat 2. Dia membimbingku masuk ke sebuah kamar, dia mengeluarkan sebuah kunci dari sakunya dan membukakan pintu. Dia membiarkan aku masuk terlebih dahulu dan aku melihat Ken sedang berkutat dengan buku-bukunya. Aku menghampirinya dan mencoba membantu Ken mengerjakan tugasnya, tapi Kei menyuruhku untuk memasakkan makan malam dan sebagai gantinya dia akan membantu Ken.
Aku melangkah ke dapur sementara keduanya sedang serius mempelajari Bahasa Inggris. Setelah aku selesai memasak, aku membawa makanan ke hadapan keduanya.
“Asyik. Akhirnya aku bisa menikmati makanan enak lagi.”
“Ken, kamu berani ya?” Kei memasang wajah masam.
“Maaf Kak Kei. Habis seminggu ini cuma bisa makan-makanan instan.”
“Iya sih. Misaki, aku kira kamu seorang putri yang tidak bisa memasak. Dan maaf aku juga berpikir kalau kamu seorang yang manja.”
“Wajar saja kalau kamu berpikir seperti itu. Tapi nenek banyak memberikan pelajaran kepadaku termasuk memasak. Nenek mendidikku untuk menjadi seorang calon istri dan penerus keluarga yang pantas.”
“Wow. Seorang istri ya?” Kei menerawang jauh.
“Kak Misaki, sebenarnya Kak Kei juga orang . . .”tiba-tiba Kei membungkam mulut Ken. Ada hal yang disembunyikan Kei.
“Orang apa?” Aku benar-benar penasaran.
“Bukan orang apa-apa. Lebih baik kita mulai makan saja nanti keburu dingin.” Kei mengalihkan pembicaraan.
“Ya sudah kalau kamu tidak mau jujur.” Aku sedikit tersinggung dengan tingkah Kei tapi bagaimanapun juga posisiku sekarang memang hanya seorang tamu. Kami mulai makan, keduanya makan dengan lahap. Aku hanya tersenyum melihat mereka.
Setelah makan, Kei menunjukkan kamar dan mempersilahkan aku untuk memakai kamar mandinya terlebih dahulu. Selesai mandi, aku masuk ke kamar dan melihat beberapa pakaian di atas tempat tidur. Mungkin Kei telah menyiapkan pakaian untuk beberapa hari ke depan. Aku menyimpan pakaian-pakaian itu di atas meja.
Aku duduk di tempat tidur dan memikirkan hari ini, mulai dari adegan penculikan yang dilakukan Kei sampai makan malam barusan. Aku tidak pernah mengenal Kei sebelumnya tapi sepertinya Kei mengetahui tentang aku.
♫♫♫
“Kamu sudah bangun?”
“Sudah. Di meja aku sudah siapkan roti untuk sarapan. Ken mana?”
“Masih belum bangun. Nanti kamu bangunkan saja, aku ada keperluan pagi ini. Oh iya, hari ini aku tidak akan membawamu ke pabrik. Kamu disini saja ya.”
“Baiklah. Kamu pulang jam berapa?”
“Mungkin jam 8. Aku berangkat dulu.” Kei mengambil sarapannya dan kemudian menghilang di balik pintu.
Aku menghampiri kamar Ken dan membangunkannya. Dia sedikit susah dibangunkan tapi akhirnya bisa bangun dan terburu-buru berangkat ke sekolah.
Setiap hari aku sibuk melakukan pekerjaan rumah tangga layaknya seorang istri dan seorang ibu. Pagi hari menyiapkan sarapan dan bekal untuk Ken dan Kei, siang mengerjakan pekerjaan rumah, sore hari menunggu kepulangan Ken, malam hari memasakkan makan malam, menemani Ken belajar, dan menunggu kepulangan Kei. Kei tidak pernah membawaku ke pabrik lagi. Dan aku mulai merasa rindu kepada keluargaku. Aku memang tidak pernah keluar rumah lebih dari satu hari dan saat ini aku tidak mendengar kabar dari keluargaku. Mungkin seharusnya nenek memasang berita ‘kehilanganku’ di koran ataupun di televisi.
Saat ini jam menunjukkan pukul 12 malam dan Kei belum pulang. Biasanya dia tidak pulang selarut ini. Aku sedikit menaruh khawatir terhadapnya. Suara bel di depan terdengar, aku membukakan pintu dan melihat Kei yang sedikit terhuyung-huyung. Aku mencium bau sake dari tubuhnya.
“Kei? Kamu kenapa?”
“Kamu siapa? Kenapa kamu ada disini?” Dia mendorongku ke dinding.
“Aku Misaki. Kamu membawaku kesini minggu lalu.”
“Oh ya? Ah terserah. Aku tidak mau tahu, besok kamu sudah harus keluar dari rumah ini.”
Aku masuk ke dalam kamar dan menangis dalam diam. Aku tertidur setelah pergi keluar untuk menelepon ke rumah minta dijemput dan terbangun jam 7 pagi. Aku cepat-cepat bangun dan ke kamar mandi. Aku menyempatkan diri membuat sarapan sebelum meninggalkan rumah Kei. Ken menghampiri aku.
“Kak misaki, kok sudah rapi?”
“Eh Ken, kamu sudah bangun? Iya, nanti setelah selesai memasak, kakak akan pulang ke rumah.”
“Kenapa? Kakak tidak nyaman disini?”
“Bukan itu. Sudah terlalu lama kakak disini, kakak sudah membuat keluarga khawatir.”
“Memangnya kakak ada uang untuk pulang?”
“Kakak sudah minta jemput. Mungkin sebentar lagi juga datang.”
Tak lama setelah aku selesai memasak, bel pun berbunyi. Seorang supir rumahku telah tiba. Aku berpamitan kepada Ken dan menitipkan salam untuk Kei. Aku melihat mata Ken sedikit berkaca-kaca.
♫♫♫
Aku sampai di rumah sekitar jam 11. Nenek menyambutku di pintu gerbang. Nenek kelihatan kurang sehat.
“Misaki, kemana saja kamu? Kenapa hanya meninggalkan sebuah pesan singkat saja? Kenapa begitu lama kamu meninggalkan rumah?” Jadi Kei meninggalkan sebuah pesan di kamarku.
“Maaf Nek, aku tidak bermaksud membuat nenek khawatir. Aku baik-baik saja.”
“Nenek takut kamu dalam bahaya. Dunia luar terlalu kejam.” Mata nenek sudah berkaca-kaca. Aku mengerti perasaannya. Nenek sudah kehilangan menantu yang sangat disayanginya, Ibuku, dan sekarang nenek takut kehilangan aku.
“Maaf Nek.” Aku memeluk nenek dan menuntunnya masuk ke dalam rumah. Di dalam rumah ayah sudah menunggu dengan wajah gelisah juga.
“Misaki.” Ayah sedikit kaget melihatku.
“Hai Yah.” Aku melepaskan pelukanku dan mendekati ayah. Ayah memelukku erat.
“Kamu kemana saja? Kenapa tidak memberi kabar?”
“Maaf ayah.”
“Ya sudah. Cepatlah kamu berganti pakaian. Ayah ingin mengajak kamu ke makam Ibu kamu.”
“Baik Yah.” Aku melangkah ke kamarku. Aku sedikit merasa asing dengan keadaan di kamarku saat ini. Kamar ini sangat berbeda dengan kamar di rumah Kei. Kamar di rumah Kei walaupun kecil dan sempit tapi bisa membuatku nyaman sedangkan disini, terlalu luas. Aku teringat dengan Kei da Ken. Walaupun aku dan mereka hanya bersama beberapa hari saja tapi bersama mereka, aku merasa memiliki keluarga baru. Menyenangkan.
Aku tersadar dari lamunanku ketika pembantuku mengetuk pintu kamarku dan memberitahukan ayah telah menungguku untuk pergi. Aku bergegas berganti pakaian kemudian menemui ayah.
“Kamu sudah siap?”
“Sudah yah. Nenek tidak ikut?”
“Tidak. Beliau ada pertemuan dengan rekan-rekannya di Ikebana. Selama kamu pergi, banyak sekali orang yang berdatangan kemari untuk meminta bertemu dengan kamu.”
“Apa aku selaris itu yah?”
“Tentu. Kamu kan anak ayah dan Ibu. Kamu sama seperti Ibu kamu, menjadi incaran semua laki-laki ketika masa sekolah dulu.” Kami tertawa bersama-sama. Orang di rumah yang bisa tertawa bersamaku mungkin hanya ayah, nenek terlalu serius.
Kami sampai di makam Ibu dan aku tidak terlalu lama berada disana, aku kembali ke dekat mobil. Aku membiarkan ayah sendirian di depan nisan Ibu. Setelah ayah kembali, kami pulang ke rumah dan tiba di rumah ketika waktu makan malam. Nenek menunggu kami untuk makan malam. Setelah selesai makan, kami duduk bersama di ruang keluarga.
“Misaki, nenek sudah mengatur jadwal pertemuan kamu dengan calon-calon tunangan kamu. Besok sepulang sekolah kamu bertemu dengan salah satu dari mereka.”
“Bagaimana dengan pelajaran lesku, Nek?”
“Untuk sementara pelajaran lesmu diberhentikan dulu kecuali pertemuan Ikebana setiap minggu siang tetap ada.”
“Baiklah, Nek.”
“Ya sudah. Ini daftar nama dan identitas lengkap calon tunangan kamu. Kamu lihat dan baca-baca dulu.”
“Iya, Nek. Aku ke kamar ya. Selamat malam Yah, Nek.”
Aku masuk ke kamar dan mandi sebelum tidur. Aku melihat sekilas daftar nama calon-calon tunanganku. Jumlahnya ada 8 orang dan besok aku harus bertemu dengan salah satu dari 8 orang itu. Aku bingung untuk menerima pertunangan ini. Setelah bertemu Kei, keinginan untuk menemukan tautanku hatiku sendiri semakin besar atau mungkin memang hatiku memang sudah tertaut dengan Kei. Tapi aku tidak bisa tetap mengharapkan Kei, nenek sudah memiliki calon-calon tunanganku.
♫♫♫
Saat ini aku menuju sebuah kafe yang tidak jauh dari sekolahku. Nenek mungkin sengaja memilihkan tempat ini untuk bertemu. Selain kafe ini nyaman dan tidak terlalu ramai dikunjungi orang, kafe ini berada di pusat kota.
Aku masuk ke dalam kafe dan mencari-cari seseorang yang mirip dengan orang di daftar calon-calon tunanganku. Seseorang di pojok ruangan melambaikan tangan padaku dan mungkin memang dia orangnya, Kidou Haruki. Kami tidak sempat berbicara banyak, Kidou sedikit sibuk dengan pekerjaannya. Hampir setiap 5 menit sekali telepon genggamnya berbunyi. Dan akhirnya dalam 30 menit dia sudah meninggalkanku di kafe itu.
♫♫♫
Hari ini adalah hari aku bertemu dengan calon tunanganku yang ke tujuh, Asahina Youji. Aku datang lebih awal dibandingkan Asahina san. Aku duduk di dekat kaca, aku bisa melihat orang yang berlalu lalang. Asahina datang beberepa menit kemudian. Kami mengobrol tentang hal-hal kecil mengenai kehidupan aku dan dia. Asahina, seorang lelaki yang cukup enak diajak mengobrol. Mungkin dari tujuh calon tunanganku yang sudah bertemu dan mengobrol denganku hanya Asahina yang mengobrol panjang denganku. Kidou, Ootani, Kobayashi, Akiomi, Yamada, dan Mizushima, semuanya memiliki gaya berbicara yang sedikit kaku. Mungkin karena aku dan yang lainnya terpaut usia yang cukup jauh sekitar 5-7 tahun. Sedangkan dengan Asahina sendiri aku hanya berpaut umur 4 tahun.
Sama dengan yang lainnya, Asahina meminta keputusan dariku, siapa yang aku pilih untuk jadi calon tunangannya. Tapi sampai saat ini, hatiku belum terpaut pada siapapun.
Aku berpisah dengan Asahina di depan kafe. Dia akan kembali ke kantornya, pekerjaannya belum selesai. Aku berjalan-jalan di sekitar kafe dan mencoba masuk ke beberapa toko. Pengawalku menunggu di parkiran kafe. Aku masuk ke sebuah toko handmade dan memilih beberapa hiasan lucu untuk di kamar. Ketika hendak membayar di kasir, aku melihat sosok Ken. Aku membayar dengan tergesa-gesa dan mencoba berlari mengejar Ken. Aku berteriak memanggil Ken dan untungnya dia menoleh dan kembali berlari menghampiriku.
“Kak Misaki.” Ken lari dan memelukku erat.
“Aku rindu Kakak.” Mata Ken sudah banjir dengan air mata.
“Iya iya. Ayo kita mencari tempat duduk dulu.” Aku membawa Ken ke sebuah tempat duduk.
“Kak Misaki. Kapan kakak akan tinggal bersama kami lagi?”
“Maaf Ken. Kakak sudah tidak bisa tinggal bersama kamu lagi.”
“Kenapa?” Ken terlihat sangat sedih.
“Sebenarnya Kak Kei menyuruh Kakak untuk meninggalkan rumahnya.”
“Tapi Kak, Kak Kei bilang saat itu Kak Kei tidak sadar mengatakan hal itu. Kak Kei menyesal. Kakak kembalilah ke rumah. Kita sama-sama lagi.”
“Tidak bisa Ken. Kakak punya sekolah, keluarga dan rumah Kakak sendiri. Kakak memang tidak bisa hidup bersama lagi tapi nanti Kakak akan sering main kesana.”
“Aku kesepian Kak. Kak Kei semakin jarang ada di rumah. Dia selalu pulang larut.”
“Mungkin dia sedang memiliki masalah, Ken.”
“Iya, tapi aku juga khawatir. Kak Kei terlalu sibuk, terlalu memikirkan aku. Kak Kei kurang bisa menjaga kesehatannya sendiri.”
“Ken, apa Kei punya keluarga?”
“Iya. Kak Kei punya keluarga. Tapi yang aku tahu hanya ayahnya, ayahnya pernah berkunjung ke rumah.” Tiba-tiba telepon genggamku berbunyi.
“Hallo, ini Tachibana Misaki.”
“Ini nenek. Kamu dimana Misaki?”
“Di dekat kafe, Nek. Kenapa?”
“Kamu sudah bertemu dengan calon tunanganmu yang ketujuh?”
“Sudah nek.”
“Kalau begitu, cepatlah kamu pulang. Nenek lupa memberitahumu kalau malam ini ada makan malam dengan rekan kerja ayahmu.”
“Makan malam?”
“Iya. Makanya, secepatnya kamu pulang. Sekarang sudah jam 6. Acara makan malamnya jam 8.”
“Sebentar lagi aku pulang tapi aku mau mengantarkan adik temanku dulu.”
“Ya sudah. Nenek tunggu kamu di rumah.” Aku kembali berpaling pada Ken.
“Kei, sebentar lagi Kakak ada keperluan mendadak jadi Kakak tidak bisa lama-lama menemani kamu. Kakak antar kamu pulang ya?” Ken merengut, aku tahu Ken sedang merasa kesal.
“Kenapa Kakak mesti pergi? Apa Kakak tidak tahu aku kesepian? Aku sangat senang ketika Kak Kei membawa kakak pulang ke rumah walaupun aku tidak tahu alasan sebenarnya Kak Kei membawa kakak. Aku bersyukur ada orang bisa menemani aku. Tapi sekarang, tidak ada yang menemaniku seorang pun.” Ken menangis tersedu-sedu.
“Maaf Ken. Kakak janji besok kakak akan menemani kamu. Lebih baik sekarang kita ke mobil Kakak ya, kakak akan mengantarkan kamu.”
Aku mengantarkan Ken ke rumah sampai pintu gerbang apartemen. Aku tidak melihat motor Kei terparkir, mungkin dia masih kerja atau berada di suatu tempat. Aku berpelukan sejenak dengan Ken dan mencium kening Kei. Ken melihat kepergianku dengan berat. Lagi-lagi aku membuat Ken sedih.
Sesampainya di rumah, aku langsung berganti pakaian dengan sebuah dress formal berwarna putih. Kami berangkat menuju sebuah restoran keluarga rekan ayah yang sengaja dipersiapkan untuk makan malam ini. Seorang lelaki dan seorang wanita menyambut kami di pintu gerbang. Kami duduk dengan meja melingkar dengan 6 kursi. Kursi disampingku masih kosong, mungkin ada seseorang lagi yang belum datang.
“Misaki, mungkin kamu belum kenal dengan rekan ayah dan istrinya ini. Bapak ini Kurosawa Kirie dan istrinya Kurosawa Minami.”
“Misaki yang asli lebih cantik dari fotonya ya.” Ibu Minami tiba-tiba berbicara.
“Iya iya benar. Yuya sudah membohongi kita.” Kami tertawa bersama-sama. Keluarga ini terasa sangat menyenangkan dan hangat. Tiba-tiba terdengar suara deruman motor dan aku merasa familiar dengan suara motor itu. Seperti suara motor Kei.
“Mungkin itu anak saya.” Pak Kirie bangun dari duduknya dan pergi keluar. Ketika Pak Kirie kembali masuk, aku kaget melihat sosok yang diberada di belakangnya, sosok yang aku kenal, Kei. Aku benar-benar tidak bisa berkata apa-apa. Kei kemudian duduk disampingku.
“Perkenalkan ini anak saya, Kurosawa Keito.”
“Keito, perkenalkan ini keluarga Tachibana. Itu Ibu Tachibana Rika, Pak Tachibana Yuya dan anaknya Tachibana Misaki.” Kei hanya tersenyum.
Aku semakin kaget ketika tahu kalau Keito adalah calon tunanganku yang kedelapan. Di dalam daftar nama calon tunanganku yang ke delapan memang tidak ada foto yang terlampir tapi aku tidak pernah menyangka kalau itu Kei. Selama makan malam ini Kei tidak banyak berbicara, hanya sekedar menjawab pertanyaan saja. Ketika kami hendak pulang, Kei meminta izin pada ayah untuk berbicara denganku. Dia menarikku ke dekat motornya.
“Kenapa selama makan malam kamu tidak berbicara padaku?”
“Tidak ada yang perlu aku bicarakan denganmu.”
“Kenapa kamu tidak pernah kembali ke rumah walau untuk menemui Ken?”
“Kamu sudah mengusirku keluar jadi buat apa aku datang ke rumahmu? Aku bisa bertemu Ken diluar rumahmu.”
“Misaki, aku benar-benar tidak bermaksud mengusirmu.”
“Terserah kamu. Aku sudah tidak peduli.” Aku meninggalkan Kei dan menghampiri mobil. Tapi Kei menarikku kembali dan menyuruhku naik di motornya. Kei kembali meminta izin kepada ayah untuk membawaku pergi. Ayah hanya tersenyum. Kei mengendarai motornya dengan kencang. Dia memberhentikan motornya di sebuah taman.
“Misaki, kenapa kamu seperti ini?”
“Ini semua gara-gara kamu. Kenapa kamu tidak pernah jujur kalau kamu termasuk calon tunanganku?”
“Aku tidak pernah tahu masalah ini. Ayah baru memberitahu kalau aku punya calon tunangan itu 2 hari sebelum aku menyuruhmu pergi. Aku tidak pernah mau tahu siapa calonku itu karena aku berpikir aku sudah punya calonku sendiri. Tapi Ayah terus saja mengancamku dengan mempertaruhkan kehidupan Ken dan pabrik yang ada di Atami. Hari itu aku benar-benar merasa tertekan, aku pergi minum hingga mabuk dan akhirnya aku tidak sadar mengusirmu keluar. Dan perlu kamu tahu, aku tidak mengetahui calon tunanganku sebelum aku bertemu denganmu hari ini.”
“Kenapa kamu menculikku waktu itu? Kamu belum mengenal aku kan?”
“Aku memang tidak terlalu mengenalmu tapi temanku sangat mengenalmu. Dia pernah kamu tolak cintanya dan dia menyuruhku menculikmu di hari itu. Katanya dia hanya ingin memberikan balasan kepadamu atas penolakannya. Dia tidak terima seorang putri manja seperti kamu menolaknya. Tapi anggapan putri manjanya ternyata salah besar. Kamu jauh dari kata manja, hanya saja kamu seekor burung yang di dalam sangkar.”
“Kamu juga seekor burung di dalam sangkar. Tidak bisa terlepas dari ikatan ayahmu.”
“Iya iya. Aku mengakuinya. Tapi jujur saja, ternyata tidak terlalu buruk menjadi burung di dalam sangkar bila akhirnya aku akan bertemu denganmu seperti ini.”
“Maksud kamu?”
“Aku berniat datang ke makan malam ini untuk menolak pertunangan. Tapi bila calonnya kamu, apa boleh buat? Aku akan mengurungkan niat itu, aku menyukaimu lebih dari yang aku tahu.”
“Tapi maaf, kamu belum pasti menjadi calon tunanganku.”
“Kenapa?”
“Aku belum menentukan siapa yang aku pilih dari semua calon-calonku.”
“Berapa calon-calonmu semuanya?”
“8 orang termasuk kamu.”
“Tidak apa. Aku pasti akan menang melawan mereka.”
Aku hanya tersenyum melihatnya. Kei membawaku pulang dan berhenti di depan rumahku.
“Kamu mau masuk?”
“Tidak sekarang. Nanti saja kalau aku sudah resmi menjadi pacarmu dan menjadi tunanganmu.”
“Baiklah. Oh iya, kamu membuat Ken khawatir. Jelaskan pada dia apa yang terjadi sebenarnya.”
“Baik tuan putri. Salam buat calon nenek dan ayah mertua ya.”
Kei memakai helmnya dan melambaikan tangan sebelum mengemudikan kembali motornya. Aku masuk ke dalam rumah dan nenek sudah menungguku dengan wajah yang kesal.
“Jadi, selama satu minggu itu kamu tinggal bersamanya?”
“Maaf, Nek. Tapi kami tidak tinggal berdua. Ada Ken juga.”
“Dari semua calon tunanganmu siapa yang kamu pilih?”
“Mungkin Keito, Nek.” Aku menjawab dengan sedikit ragu.
“Apa kamu yakin?” Wajah nenek semakin serius.
“Yakin.”
“Nenek belum menyetujuinya. Nenek ingin ada pertemuan khusus dengan dia. Ajak dia makan malam disini besok.”
“Baik, Nek.” Lagi-lagi aku tidak bisa menolak perintah nenek. Apa yang harus aku lakukan? Apa yang harus aku katakan pada Kei? Dan aku lupa meminta email Kei.
Akhirnya, setelah pulang sekolah aku memutuskan pergi ke rumah Kei. Aku menekan bel dan Ken membukakan pintu untukku. Rasanya sedikit aneh ketika masuk ke rumah Kei. Dulu aku tidak memiliki hubungan apapun dengan Kei tapi saat ini Kei adalah salah satu calon tunanganku dan mungkin Kei adalah calon yang aku pilih.
“Ken, Kak Kei mana?”
“Kak Kei? Kalau tidak salah saat ini sedang di kampus.”
“Kampus?”Oh iya aku lupa, di data calon tunanganku tertulis kalau Kei adalah mahasiswa tingkat 3 fakultas Administrasi dan Informasi di Universitas Shizuoka. Dan Kei juga bekerja di perusahaan sebagai CEO peruasahaan saat ini.
“Kak Misaki?” Ken menyadarkan aku dari lamunanku.
“Eh Ken.”
“Kak Misaki menunggu Kak Kei?”
“Iya. Nenek kakak mengundang Kak Kei untuk makan malam. Ken juga diundang.”
“Asyik. Kenapa tidak kakak hubungi saja Kak Keinya?”
“Kakak lupa meminta email Kak Kei.”
“Kalau tidak salah aku menuliskan email dan nomor telepon Kak Kei di buku catatanku. Tunggu sebentar aku cari dulu ya.” Ken pergi ke kamarnya dan kemudian keluar dengan membawa sebuah buku.
“Ini Kak. Ada.” Aku mencoba menghubungi nomor yang tertulis di buku itu. Suara Kei terdengar di seberang sana.
“Halo, ini Keito. Siapa ini?”
“Kei, ini Misaki.”
“Aa, calon tunanganku. Ada apa?”
“Nenek mengundang kamu makan malam.”
“Oh iya? Aku lulus jadi calon tunangan kamu?”
“Tidak tahu. Sekalian kamu ajak Ken ya.” Ada rasa panas yang terasa di pipiku. Mungkin ada rona merah di pipiku.
“Iya tuan putriku. Kamu lagi dimana?”
“Di rumah kamu.”
“Eh? Ya sudah aku pulang sekarang ya. Aku mau ketemu kamu.”
“Tidak tidak. Aku sudah ditunggu nenek di rumah.” Aku langsung mematikan teleponnya. Ken yang melihatku salah tingkah hanya tersenyum. Aku berpamitan kepada Ken dan secepatnya lari ke dalam mobil.
Kei dan Ken tiba di rumah sekitar jam 7. Kei memakai pakaian semi formal. Rambutnya yang kemarin panjang kini dipotong rapi. Kei membuatku salah tingkah. Aku mempersilahkan keduanya masuk. Nenek menunggu Kei di ruang tengah. Nenek mengajak Kei berbicara dan aku membawa Ken ke kamarku, mengajak dia bermain di kamarku. Walau sebenarnya aku penasaran dengan obrolan yang dibicarakan nenek dengan Kei.
Ketika aku dan Ken sedang asyik bermain game, pelayan memberitahuku kalau nenek menunggu kami di meja makan. Kami makan malam tanpa ayah. Ayah belum pulang dari kantor, masih ada rapat. Selesai makan, Kei pamit kepada nenek dan aku mengantar Kei dan Ken sampai ke pintu gerbang.
Semenjak makan malam itu, Kei sering menjemputku dari sekolah. Dan nenek memperbolehkan aku keluar bersama Kei dan Ken. Hari ini, Aku pulang dari rumah Kei dan tiba di rumah sekitar pukul 6. Nenek menungguku di kamarku.
“Misaki, nenek ingin bertanya serius kepada kamu. Apakah kamu benar-benar ingin melanjutkan hubungan kamu dengan Kei?”
“Selama nenek memperbolehkannya.” Aku menjawab dengan sedikit rasa takut.
“Nenek punya satu syarat, kamu harus mau nenek tunangkan.”
“Tapi dengan Kei kan, Nek?”
“Iya. Dan acara pertunangannya adalah hari Sabtu.”
“Hari Sabtu?  Bukannya hari Sabtu itu besok?”
“Iya.”
“Tapi Nek...”
“Nenek sudah bicara dengan Kei, ayah kamu dan keluarga Kei. Dan semuanya setuju. Jadi bagaimana dengan kamu?”
“Kalau semua sudah setuju aku tidak mungkin menolak kan?”
“Tentu saja.” Nenek hanya tersenyum sambil keluar dari kamarku.
Aku benar-benar merasa bahagia saat ini. Nenek menyetujui hubunganku dan akan mengadakan acara pertunanganku besok. Memang awalnya aku merasa menjadi seekor burung di dalam sangkar yang terkekang. Tapi saat ini, aku menjadi seekor burung di dalam sangkar yang bahagia. Aku mempunyai keluarga yang menyayangiku, seorang tunangan yang mencintaiku, keluarga tunanganku yang baik dan aku bersyukur mempunyai semuanya.

FINE~


0 komentar:

Posting Komentar

 

Life is an Adventure Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea