Like a Bird in the Cage
Sekolah Shizuoka
Ken Seien Joshi Gakuen adalah sebuah sekolah putri yang ketat dan disegani.
Hampir seluruh siswinya berasal dari keluarga kaya dari seluruh pelosok negeri.
Orangtua memasukkan anak-anaknya ke sekolah ini berharap anak-anaknya dapat
dididik menjadi seorang putri yang bisa menjadi pewaris ataupun calon menantu
yang pantas dikalangannya.
Aku, adalah
salah satu siswi dan sekaligus ketua OSIS di sekolah ini. Saat ini aku adalah
siswi tingkat 3 yang sebentar lagi lulus dari sekolah ini. Selain menjadi ketua
OSIS, aku pun menjadi ketua di Ikebana Club, sebuah klub untuk orang-orang yang
‘menyukai’ seni merangkai bunga.
Hari ini tepat
tanggal 25 April 2012 dan hari ulangtahunku yang ke 18. Aku pergi ke sekolah
seperti biasa, dengan mobil dan pengawal yang selalu menemaniku. Sebenarnya aku
kurang nyaman dengan hal seperti ini. Tapi bila tidak seperti ini, aku tidak
akan pernah diperbolehkan masuk ke sekolah dan bertemu dengan teman-temanku.
Saat tiba di
gerbang sekolah, teman-temanku sudah menunggu kedatanganku. Mereka mengucapkan
selamat atas ulangtahunku. Aku melangkah masuk ke dalam sekolah dan mengganti
sepatuku. Dan berjalan menuju kelasku yang berada di ujung lantai 2. Bel
berbunyi dan pelajaran pun dimulai. Sama seperti hari-hari biasa, pelajaran
terasa membosankan. Dan aku selalu menjadi bahan tunjukkan guru-guru. Guru-guru
selalu bilang, “Lihatlah Misaki, dia selalu bisa menjawab semua pertanyaan” dan
jujur saja, aku bosan selalu
diperlakukan seperti ini. Aku memang ketua OSIS dan mendapatkan juara Umum di
setiap semester walaupun nyatanya aku mendapatkannya tanpa belajar dengan
sungguh-sungguh. Tapi semua prestasiku aku dapatkan dengan kemampuanku sendiri.
Aku mendapatkan pelajaran bukan hanya di sekolah melainkan juga di rumah. Nenek
memberikan guru les untuk setiap hal, mulai dari pelajaran di sekolah, etika,
sampai Ikebana.
Aku pulang ke
rumah sekitar jam 6 sore dan disambut dengan sebuah pesta ‘kecil’ yang diadakan
ayah dan nenekku. Aku memang hidup bersama mereka berdua, tanpa ibu. Ibu telah
lama meninggal, mengalami kecelakaan mobil di daerah Osaka. Pesta yang diadakan
nenek penuh dihadiri oleh teman-temannya di Ikebana dan teman-teman ayah.
Mungkin dari sekian banyak tamu hanya beberapa yang aku kenal. Nenek
memanggilku dan menyuruhku untuk berganti pakaian dan akan mengumumkan
pertunanganku. Setelah berganti pakaian, Nenek membawaku ke depan semua tamu
dan mengambil sebuah pengeras suara.
“Maaf semua,
perkenalkan ini cucu saya, Tachibana Misaki. Hari ini adalah hari ulangtahunnya
yang ke-18. Dan mulai saat ini saya akan mempersiapkan calon tunangannya
beserta pesta pertunangannya. Yang berniat memperkenalkan anak atau kerabatnya
harap hubungi saya terlebih dahulu dan memberikan fotonya. Terimakasih,
silahkan lanjutkan pestanya.”
Nenek membawaku
kembali ke tempat tadi nenek berkumpul dengan teman-temannya. Dan sekarang
semakin banyak orang yang menghampiriku dan berbasa-basi ingin mengenalkan anak
ataupun kerabatnya. Aku meminta izin untuk pergi berjalan-jalan di taman. Rumah
ini memang sedikit luas. Rumah dengan gaya rumah kuno Jepang dengan taman dan
kolamnya. Dan dikelilingi pagar setinggi 1,5 meter. Aku melihat ayah sedang
sendirian di dekat kolam. Aku menghampirinya.
“Ayah, sedang
apa?”
“Aa, Misaki.
Tidak, ayah sedang menghirup udara malam saja. Kenapa kamu kesini?”
“Di dalam
terlalu banyak orang.”
“Baiklah.
Misaki, jujur saja ayah sedih memikirkan kamu.”
“Aku? Kenapa
ayah sedih memikirkan aku?”
“Kamu hanya
tinggal dengan ayah dan nenek. Kamu kurang kasih sayang dari Ibu kamu. Dan kamu
tidak pernah sedikitpun membantah kepada nenek ataupun ayah. Hari ini, nenek
mengumumkan tentang pertunangan kamu tapi tidak ada bantahan sedikitpun dari
kamu. Ayah ingin tahu perasaan kamu sebenarnya. Dan memikirkan hal itu membuat
Ayah sedih.”
“Maaf ayah. Aku
memang tidak berniat membantah apapun. Tentang pertunanganku, aku bisa
menerimanya. Nenek mungkin mempunyai calon yang baik untukku.”
“Baiklah.
Mengenai Ikebana yang dikelola keluarga, apakah kamu ingin meneruskannya?”
“Tentu saja,
Yah. Kalau bukan aku siapa lagi?”
“Bukan masalah
siapa atau siapa. Ayah hanya ingin kamu melakukan apa yang kamu inginkan saja.”
“Aku tidak
pernah memikirkan hal lain selain meneruskan Ikebana ini. Ikebana ini kan sudah
menjadi warisan turun menurun.”
“Maafkan ayah
Misaki. Kalau saja Ibu kamu masih ada, mungkin Ikebana ini masih dikelola oleh
Ibu kamu dan kamu tidak usah memikirkan Ikebana dan juga calon tunangan kamu.”
“Sudahlah Yah.
Jangan terlalu larut dalam kesedihan. Ibu sudah tenang disana. Oh iya ayah, aku
kembali ke dalam ya. Aku takut nenek mencariku. Bisa-bisa nenek sama seperti
waktu itu.”
Kami tertawa
bersama-sama mengingat kejadian waktu itu. Nenek menyuruh semua pengawal
mencariku dan nenek juga melaporkan ke polisi, padahal saat itu aku sedang
berada di gudang menyimpan barang.
“Misaki,
darimana saja kamu?”
“Aku di dekat
kolam nek. Bersama ayah. Ada apa?”
“Hampir saja nenek
menyuruh semua pengawal untuk mencari kamu. Pesta sebentar lagi berakhir,
apakah ada yang ingin kamu sampaikan di depan semua tamu?”
“Tidak ada Nek,
sampaikan saja terimakasih kepada semuanya. Aku mau istirahat saja. Besok ada
test di sekolah.”
“Ya sudah.
Istirahatlah sana.”
Aku beranjak
pergi ke kamarku dan mengunci kamarku rapat-rapat. Kemudian aku pergi ke kamar
mandi dan berendam sebentar. Aku masuk ke tempat tidur dengan buku di
pangkuanku. Jam menunjukkan jam 23.30. Aku sedikit mengantuk dan akhirnya mengurungkan
niatku untuk membaca buku. Aku terbangun oleh suara decitan dari jendela
kamarku. Seseorang telah masuk ke kamarku. Tinggi dan gelap. Aku hendak
menyalakan lampu di sampingku tapi tangan orang itu mencekalku dan membungkam
mulutku dengan saputangan.
♫♫♫
Kepalaku terasa
berat. Aku melihat sekelilingku. Aku berada di dalam ruangan yang dipenuhi kardus-kardus besar. Tanganku diikat ke
belakang dengan posisi terbaring di lantai. Pintu ruangan dibuka dan seorang
lelaki masuk. Dia memiliki wajah yang cantik untuk ukuran seorang lelaki,
rambutnya panjang diikat ke belakang dan memiliki tinggi sekitar 180 cm. Dan dia menghampiriku, berjongkok di
depanku, dan menatapku cukup lama.
“Mungkin kamu
kaget aku menyekapmu disini.”
“Kamu siapa?
Kenapa aku ada disini? Salahku apa?”
“Tenang. Aku
tidak akan melakukan hal yang aneh terhadap kamu. Aku hanya ingin meminta
waktumu beberapa hari.”
“Kenapa?”
“Tak apa. Oh
iya Misaki, kamu bisa memanggilku Kei.” Dia beranjak berdiri dan hendak
meninggalkan ruangan ini.
“Tunggu
sebentar Kei. Tolong lepaskan tali yang mengikatku ini.”
“Oke oke. Nanti
ada anak yang akan melepaskan kamu.” Dia keluar dari ruangan dan tak lama kemudian
ada seorang anak laki-laki masuk dan menghampiriku. Dia melepaskan tali yang
mengikatku.
“Kakak siapanya
Kak Kei? Pacar Kak Kei?”
“Mana mungkin
seorang pacar diperlalukan seperti ini. ”
“Oh iya ya.
Terus kakak siapanya Kak Kei?”
“Lebih baik
kamu tanyakan saja kepada Kei-mu itu. Dia itu kakakmu ya?”
“Bukan kok Kak.
Aku ketemu kak Kei di rumah sakit, Kak Kei membantuku membayar biaya rumah
sakit nenek dan setelah nenek meninggal aku tinggal bersama Kak Kei.”
“Oh. Sejak
kapan kamu tinggal bersama Kak Kei?”
“Sekitar 3
bulan.”
“Baik juga
ternyata ya. Oh iya, nama kamu siapa?”
“Ken, nama
kakak siapa?”
“Misaki.”
“Baiklah Kak
Misaki, ayo ikut aku. Kak Kei menunggu kita di depan.” Dia menarikku keluar dan
aku melihat Kei sedang duduk diatas sebuah sepeda motor.
“Ayo ikut aku.”
Kei memberiku sebuah helm dan menarikku naik ke motornya.
“Ken, kamu bisa
pulang sendiri kan?” Kei bertanya kepada Ken yang sedang melihatku.
“Iya Kak. Kakak
nanti pulang jam berapa? Apa mau aku masakkan makan malam?”
“Mungkin jam 7
malam. Tidak usah, nanti aku bawakan makan malam untuk kita bertiga. Ya sudah,
kita berangkat ya.” Kei menyalakan motor dan mulai menjalankan motornya. Aku melihat
Ken melambaikan tangannya dan aku membalas lambaiannya.
Kei
memberhentikan motornya di depan sebuah dermaga. Dia memberikan tasnya kepadaku
dan menyuruhku masuk ke dalam sebuah ruangan.
“Misaki,
sekarang kamu berganti pakaianlah dulu. Pakaiannya ada di dalam tas. Aku
menunggumu di depan dermaga, nanti aku akan memperkenalkan kamu dengan
pegawai-pegawai yang disini.”
“Iya.” Aku
masuk ke ruangan. Ruangan ini seperti kamar seseorang, mungkin kamar Kei atau
siapa. Pakaian yang diberikan Kei cukup sederhana, sebuah kaus dan celana
panjang. Setelah berganti pakaian, aku keluar dan pergi menemui Kei.
“Misaki,
kenalkan ini beberapa pegawai disini. Yang ini Pak Nakagawa, Pak Shigeyoshi,
Pak Satoshi, dan yang ini Ibu Nakamura. Kamu bisa bertanya kepada orang-orang
ini. Kamu akan bekerja disini bersama Ibu Nakamura.” Aku bingung dengan apa
yang dikatakan Kei.
“Kei, apa yang
aku kerjakan nanti?”
“Nanti kamu
tanyakan saja ke Bu Nakamura. Semuanya ayo kita kembali bekerja.”
Kei
meninggalkan aku dengan kebingungan yang terjadi. Semua kembali kerja. Aku
mengikuti Ibu Nakamura ke dekat sebuah perahu.
“Misaki,
sekarang kita pisahkan ikan menurut jenisnya, setelah itu pisahkan juga menurut
ukurannya.”
“Baik, bu. Tapi
maaf sebelumnya bu, pemilik perusahaan ini siapa ya?”
“Eh? Kamu tidak
tahu?” Ibu Nakamura melihatku dengan bingung.
“Tidak bu. Kei
tidak menceritakan apa-apa.”
“Saya kira kamu
sudah mengetahui semuanya sehingga memilih bekerja disini. Perusahaan ini diselamatkan
oleh Kei ketika perusahaan ini akan bangkrut. Dia menyelamatkan kami yang
bekerja disini.”
“Oh begitu.”
“Jadi kenapa
kamu memilih kerja disini?”
“ Tidak tahu,
Bu. Kei yang membawa saya kesini.”
“Oh. Kalian
sedang berhubungan?”
“Tidak tidak.
Kami tidak ada hubungan apapun.”
“Mungkin saat
ini tidak tapi suatu saat nanti iya. Dia belum pernah membawa wanita satupun
kemari dan Kei orang yang baik.”
Aku hanya bisa
tersenyum dan melanjutkan pekerjaan. Sekitar jam 5 sore Kei menghampiriku. Aku
tidak tahu dia pergi kemana satu harian ini.
“Misaki, ayo
kita pergi.”
“Kemana lagi?” Kei
mengacuhkanku dan mendekati Ibu Nakamura.
“Bu, kami
pulang duluan. Ibu juga sudah boleh pulang. Mungkin besok Misaki dan saya tidak
akan kemari.”
“Baiklah. Oh
iya, kamu berhutang cerita kepada Ibu ya.”
“Siap. Salam
untuk Satsuki ya.” Kei kembali menghampiriku dan membawaku ke tempat dia
menyimpan sepeda motornya.
“Nih. Ayo
naik.”
Aku naik ke
motornya dan dia mulai menjalankan motornya keluar dari wilayah dermaga. Dia membelokkan motornya ke
sebuah supermarket.
“Ambillah
beberapa barang yang kamu perlukan.”
“Tapi, siapa
yang akan bayar semuanya?”
“Tenang saja.
Aku akan menanggung biaya semuanya.”
“Aku tidak mau
berhutang kepadamu.”
“Kalau begitu
bayar dengan kerja keras kamu. Selain itu, yang membawamu jauh dari rumah kan
aku jadi aku yang harus bertanggungjawab atas kamu.”
“Aku tetap akan
membayarnya. Tapi nanti, setelah kamu memperbolehkan aku pulang ke rumah.”
“Terserah kamu.
Sekarang cepatlah kamu memilih barang yang kamu butuhkan.”
Aku masuk ke
dalam supermarket dan Kei mengikutiku di belakang. Aku mengambil beberapa
perlengakapan mandi dan beberapa helai pakaian sedangkan Kei berjalan ke tempat
makanan. Setelah selesai, aku menghampirinya. Dia belum mengambil makanan
satupun.
“Kei, apa yang
ingin kamu beli?”
“Aku bingung
harus membelikan apa untuk Ken. Aku tidak pernah memasakkan makanan untuk dia.”
“Jadi selama
ini kalian makan apa?”
“Biasanya kita
diberi makanan oleh tetangga tapi sudah satu minggu lebih tetangga kita pulang
ke kampung halaman orangtuanya dan seminggu ini kita hanya makan makanan instan
atau makan di luar.” Dia menerawang jauh.
“Ya sudah. Biar
aku saja yang pilihkan.”
Aku memilih
beberapa bahan makanan, Kei hanya mengikutiku di belakang. Kei membayar semua
belanjaan. Kami melanjutkan perjalanan. Kei memberhentikan motornya di depan
sebuah apartemen bertingkat 2. Dia membimbingku masuk ke sebuah kamar, dia mengeluarkan
sebuah kunci dari sakunya dan membukakan pintu. Dia membiarkan aku masuk
terlebih dahulu dan aku melihat Ken sedang berkutat dengan buku-bukunya. Aku
menghampirinya dan mencoba membantu Ken mengerjakan tugasnya, tapi Kei
menyuruhku untuk memasakkan makan malam dan sebagai gantinya dia akan membantu
Ken.
Aku melangkah
ke dapur sementara keduanya sedang serius mempelajari Bahasa Inggris. Setelah
aku selesai memasak, aku membawa makanan ke hadapan keduanya.
“Asyik.
Akhirnya aku bisa menikmati makanan enak lagi.”
“Ken, kamu
berani ya?” Kei memasang wajah masam.
“Maaf Kak Kei.
Habis seminggu ini cuma bisa makan-makanan instan.”
“Iya sih. Misaki,
aku kira kamu seorang putri yang tidak bisa memasak. Dan maaf aku juga berpikir
kalau kamu seorang yang manja.”
“Wajar saja
kalau kamu berpikir seperti itu. Tapi nenek banyak memberikan pelajaran
kepadaku termasuk memasak. Nenek mendidikku untuk menjadi seorang calon istri
dan penerus keluarga yang pantas.”
“Wow. Seorang
istri ya?” Kei menerawang jauh.
“Kak Misaki,
sebenarnya Kak Kei juga orang . . .”tiba-tiba Kei membungkam mulut Ken. Ada hal
yang disembunyikan Kei.
“Orang apa?”
Aku benar-benar penasaran.
“Bukan orang
apa-apa. Lebih baik kita mulai makan saja nanti keburu dingin.” Kei mengalihkan
pembicaraan.
“Ya sudah kalau
kamu tidak mau jujur.” Aku sedikit tersinggung dengan tingkah Kei tapi
bagaimanapun juga posisiku sekarang memang hanya seorang tamu. Kami mulai
makan, keduanya makan dengan lahap. Aku hanya tersenyum melihat mereka.
Setelah makan,
Kei menunjukkan kamar dan mempersilahkan aku untuk memakai kamar mandinya
terlebih dahulu. Selesai mandi, aku masuk ke kamar dan melihat beberapa pakaian
di atas tempat tidur. Mungkin Kei telah menyiapkan pakaian untuk beberapa hari
ke depan. Aku menyimpan pakaian-pakaian itu di atas meja.
Aku duduk di
tempat tidur dan memikirkan hari ini, mulai dari adegan penculikan yang
dilakukan Kei sampai makan malam barusan. Aku tidak pernah mengenal Kei sebelumnya
tapi sepertinya Kei mengetahui tentang aku.
♫♫♫
“Kamu sudah
bangun?”
“Sudah. Di meja
aku sudah siapkan roti untuk sarapan. Ken mana?”
“Masih belum
bangun. Nanti kamu bangunkan saja, aku ada keperluan pagi ini. Oh iya, hari ini
aku tidak akan membawamu ke pabrik. Kamu disini saja ya.”
“Baiklah. Kamu
pulang jam berapa?”
“Mungkin jam 8.
Aku berangkat dulu.” Kei mengambil sarapannya dan kemudian menghilang di balik
pintu.
Aku menghampiri
kamar Ken dan membangunkannya. Dia sedikit susah dibangunkan tapi akhirnya bisa
bangun dan terburu-buru berangkat ke sekolah.
Setiap hari aku
sibuk melakukan pekerjaan rumah tangga layaknya seorang istri dan seorang ibu.
Pagi hari menyiapkan sarapan dan bekal untuk Ken dan Kei, siang mengerjakan
pekerjaan rumah, sore hari menunggu kepulangan Ken, malam hari memasakkan makan
malam, menemani Ken belajar, dan menunggu kepulangan Kei. Kei tidak pernah
membawaku ke pabrik lagi. Dan aku mulai merasa rindu kepada keluargaku. Aku
memang tidak pernah keluar rumah lebih dari satu hari dan saat ini aku tidak
mendengar kabar dari keluargaku. Mungkin seharusnya nenek memasang berita ‘kehilanganku’
di koran ataupun di televisi.
Saat ini jam
menunjukkan pukul 12 malam dan Kei belum pulang. Biasanya dia tidak pulang
selarut ini. Aku sedikit menaruh khawatir terhadapnya. Suara bel di depan
terdengar, aku membukakan pintu dan melihat Kei yang sedikit terhuyung-huyung.
Aku mencium bau sake dari tubuhnya.
“Kei? Kamu
kenapa?”
“Kamu siapa?
Kenapa kamu ada disini?” Dia mendorongku ke dinding.
“Aku Misaki.
Kamu membawaku kesini minggu lalu.”
“Oh ya? Ah terserah.
Aku tidak mau tahu, besok kamu sudah harus keluar dari rumah ini.”
Aku masuk ke
dalam kamar dan menangis dalam diam. Aku tertidur setelah pergi keluar untuk menelepon
ke rumah minta dijemput dan terbangun jam 7 pagi. Aku cepat-cepat bangun dan ke
kamar mandi. Aku menyempatkan diri membuat sarapan sebelum meninggalkan rumah
Kei. Ken menghampiri aku.
“Kak misaki,
kok sudah rapi?”
“Eh Ken, kamu
sudah bangun? Iya, nanti setelah selesai memasak, kakak akan pulang ke rumah.”
“Kenapa? Kakak
tidak nyaman disini?”
“Bukan itu.
Sudah terlalu lama kakak disini, kakak sudah membuat keluarga khawatir.”
“Memangnya kakak
ada uang untuk pulang?”
“Kakak sudah
minta jemput. Mungkin sebentar lagi juga datang.”
Tak lama
setelah aku selesai memasak, bel pun berbunyi. Seorang supir rumahku telah
tiba. Aku berpamitan kepada Ken dan menitipkan salam untuk Kei. Aku melihat
mata Ken sedikit berkaca-kaca.
♫♫♫
Aku sampai di
rumah sekitar jam 11. Nenek menyambutku di pintu gerbang. Nenek kelihatan kurang
sehat.
“Misaki, kemana
saja kamu? Kenapa hanya meninggalkan sebuah pesan singkat saja? Kenapa begitu
lama kamu meninggalkan rumah?” Jadi Kei meninggalkan sebuah pesan di kamarku.
“Maaf Nek, aku
tidak bermaksud membuat nenek khawatir. Aku baik-baik saja.”
“Nenek takut
kamu dalam bahaya. Dunia luar terlalu kejam.” Mata nenek sudah berkaca-kaca.
Aku mengerti perasaannya. Nenek sudah kehilangan menantu yang sangat
disayanginya, Ibuku, dan sekarang nenek takut kehilangan aku.
“Maaf Nek.” Aku
memeluk nenek dan menuntunnya masuk ke dalam rumah. Di dalam rumah ayah sudah
menunggu dengan wajah gelisah juga.
“Misaki.” Ayah
sedikit kaget melihatku.
“Hai Yah.” Aku
melepaskan pelukanku dan mendekati ayah. Ayah memelukku erat.
“Kamu kemana
saja? Kenapa tidak memberi kabar?”
“Maaf ayah.”
“Ya sudah.
Cepatlah kamu berganti pakaian. Ayah ingin mengajak kamu ke makam Ibu kamu.”
“Baik Yah.” Aku
melangkah ke kamarku. Aku sedikit merasa asing dengan keadaan di kamarku saat
ini. Kamar ini sangat berbeda dengan kamar di rumah Kei. Kamar di rumah Kei walaupun
kecil dan sempit tapi bisa membuatku nyaman sedangkan disini, terlalu luas. Aku
teringat dengan Kei da Ken. Walaupun aku dan mereka hanya bersama beberapa hari
saja tapi bersama mereka, aku merasa memiliki keluarga baru. Menyenangkan.
Aku tersadar dari
lamunanku ketika pembantuku mengetuk pintu kamarku dan memberitahukan ayah
telah menungguku untuk pergi. Aku bergegas berganti pakaian kemudian menemui
ayah.
“Kamu sudah
siap?”
“Sudah yah.
Nenek tidak ikut?”
“Tidak. Beliau
ada pertemuan dengan rekan-rekannya di Ikebana. Selama kamu pergi, banyak
sekali orang yang berdatangan kemari untuk meminta bertemu dengan kamu.”
“Apa aku
selaris itu yah?”
“Tentu. Kamu
kan anak ayah dan Ibu. Kamu sama seperti Ibu kamu, menjadi incaran semua
laki-laki ketika masa sekolah dulu.” Kami tertawa bersama-sama. Orang di rumah
yang bisa tertawa bersamaku mungkin hanya ayah, nenek terlalu serius.
Kami sampai di
makam Ibu dan aku tidak terlalu lama berada disana, aku kembali ke dekat mobil.
Aku membiarkan ayah sendirian di depan nisan Ibu. Setelah ayah kembali, kami
pulang ke rumah dan tiba di rumah ketika waktu makan malam. Nenek menunggu kami
untuk makan malam. Setelah selesai makan, kami duduk bersama di ruang keluarga.
“Misaki, nenek
sudah mengatur jadwal pertemuan kamu dengan calon-calon tunangan kamu. Besok
sepulang sekolah kamu bertemu dengan salah satu dari mereka.”
“Bagaimana
dengan pelajaran lesku, Nek?”
“Untuk
sementara pelajaran lesmu diberhentikan dulu kecuali pertemuan Ikebana setiap
minggu siang tetap ada.”
“Baiklah, Nek.”
“Ya sudah. Ini
daftar nama dan identitas lengkap calon tunangan kamu. Kamu lihat dan baca-baca
dulu.”
“Iya, Nek. Aku
ke kamar ya. Selamat malam Yah, Nek.”
Aku masuk ke
kamar dan mandi sebelum tidur. Aku melihat sekilas daftar nama calon-calon
tunanganku. Jumlahnya ada 8 orang dan besok aku harus bertemu dengan salah satu
dari 8 orang itu. Aku bingung untuk menerima pertunangan ini. Setelah bertemu
Kei, keinginan untuk menemukan tautanku hatiku sendiri semakin besar atau
mungkin memang hatiku memang sudah tertaut dengan Kei. Tapi aku tidak bisa
tetap mengharapkan Kei, nenek sudah memiliki calon-calon tunanganku.
♫♫♫
Saat ini aku
menuju sebuah kafe yang tidak jauh dari sekolahku. Nenek mungkin sengaja
memilihkan tempat ini untuk bertemu. Selain kafe ini nyaman dan tidak terlalu
ramai dikunjungi orang, kafe ini berada di pusat kota.
Aku masuk ke
dalam kafe dan mencari-cari seseorang yang mirip dengan orang di daftar
calon-calon tunanganku. Seseorang di pojok ruangan melambaikan tangan padaku dan
mungkin memang dia orangnya, Kidou Haruki. Kami tidak sempat berbicara banyak,
Kidou sedikit sibuk dengan pekerjaannya. Hampir setiap 5 menit sekali telepon
genggamnya berbunyi. Dan akhirnya dalam 30 menit dia sudah meninggalkanku di
kafe itu.
♫♫♫
Hari ini adalah
hari aku bertemu dengan calon tunanganku yang ke tujuh, Asahina Youji. Aku
datang lebih awal dibandingkan Asahina san. Aku duduk di dekat kaca, aku bisa
melihat orang yang berlalu lalang. Asahina datang beberepa menit kemudian. Kami
mengobrol tentang hal-hal kecil mengenai kehidupan aku dan dia. Asahina,
seorang lelaki yang cukup enak diajak mengobrol. Mungkin dari tujuh calon
tunanganku yang sudah bertemu dan mengobrol denganku hanya Asahina yang
mengobrol panjang denganku. Kidou, Ootani, Kobayashi, Akiomi, Yamada, dan
Mizushima, semuanya memiliki gaya berbicara yang sedikit kaku. Mungkin karena
aku dan yang lainnya terpaut usia yang cukup jauh sekitar 5-7 tahun. Sedangkan
dengan Asahina sendiri aku hanya berpaut umur 4 tahun.
Sama dengan
yang lainnya, Asahina meminta keputusan dariku, siapa yang aku pilih untuk jadi
calon tunangannya. Tapi sampai saat ini, hatiku belum terpaut pada siapapun.
Aku berpisah
dengan Asahina di depan kafe. Dia akan kembali ke kantornya, pekerjaannya belum
selesai. Aku berjalan-jalan di sekitar kafe dan mencoba masuk ke beberapa toko.
Pengawalku menunggu di parkiran kafe. Aku masuk ke sebuah toko handmade dan
memilih beberapa hiasan lucu untuk di kamar. Ketika hendak membayar di kasir,
aku melihat sosok Ken. Aku membayar dengan tergesa-gesa dan mencoba berlari
mengejar Ken. Aku berteriak memanggil Ken dan untungnya dia menoleh dan kembali
berlari menghampiriku.
“Kak Misaki.”
Ken lari dan memelukku erat.
“Aku rindu
Kakak.” Mata Ken sudah banjir dengan air mata.
“Iya iya. Ayo
kita mencari tempat duduk dulu.” Aku membawa Ken ke sebuah tempat duduk.
“Kak Misaki.
Kapan kakak akan tinggal bersama kami lagi?”
“Maaf Ken.
Kakak sudah tidak bisa tinggal bersama kamu lagi.”
“Kenapa?” Ken
terlihat sangat sedih.
“Sebenarnya Kak
Kei menyuruh Kakak untuk meninggalkan rumahnya.”
“Tapi Kak, Kak
Kei bilang saat itu Kak Kei tidak sadar mengatakan hal itu. Kak Kei menyesal.
Kakak kembalilah ke rumah. Kita sama-sama lagi.”
“Tidak bisa Ken.
Kakak punya sekolah, keluarga dan rumah Kakak sendiri. Kakak memang tidak bisa
hidup bersama lagi tapi nanti Kakak akan sering main kesana.”
“Aku kesepian
Kak. Kak Kei semakin jarang ada di rumah. Dia selalu pulang larut.”
“Mungkin dia
sedang memiliki masalah, Ken.”
“Iya, tapi aku
juga khawatir. Kak Kei terlalu sibuk, terlalu memikirkan aku. Kak Kei kurang
bisa menjaga kesehatannya sendiri.”
“Ken, apa Kei
punya keluarga?”
“Iya. Kak Kei
punya keluarga. Tapi yang aku tahu hanya ayahnya, ayahnya pernah berkunjung ke
rumah.” Tiba-tiba telepon genggamku berbunyi.
“Hallo, ini
Tachibana Misaki.”
“Ini nenek.
Kamu dimana Misaki?”
“Di dekat kafe,
Nek. Kenapa?”
“Kamu sudah
bertemu dengan calon tunanganmu yang ketujuh?”
“Sudah nek.”
“Kalau begitu,
cepatlah kamu pulang. Nenek lupa memberitahumu kalau malam ini ada makan malam
dengan rekan kerja ayahmu.”
“Makan malam?”
“Iya. Makanya,
secepatnya kamu pulang. Sekarang sudah jam 6. Acara makan malamnya jam 8.”
“Sebentar lagi
aku pulang tapi aku mau mengantarkan adik temanku dulu.”
“Ya sudah.
Nenek tunggu kamu di rumah.” Aku kembali berpaling pada Ken.
“Kei, sebentar
lagi Kakak ada keperluan mendadak jadi Kakak tidak bisa lama-lama menemani
kamu. Kakak antar kamu pulang ya?” Ken merengut, aku tahu Ken sedang merasa
kesal.
“Kenapa Kakak
mesti pergi? Apa Kakak tidak tahu aku kesepian? Aku sangat senang ketika Kak
Kei membawa kakak pulang ke rumah walaupun aku tidak tahu alasan sebenarnya Kak
Kei membawa kakak. Aku bersyukur ada orang bisa menemani aku. Tapi sekarang,
tidak ada yang menemaniku seorang pun.” Ken menangis tersedu-sedu.
“Maaf Ken.
Kakak janji besok kakak akan menemani kamu. Lebih baik sekarang kita ke mobil
Kakak ya, kakak akan mengantarkan kamu.”
Aku
mengantarkan Ken ke rumah sampai pintu gerbang apartemen. Aku tidak melihat
motor Kei terparkir, mungkin dia masih kerja atau berada di suatu tempat. Aku
berpelukan sejenak dengan Ken dan mencium kening Kei. Ken melihat kepergianku
dengan berat. Lagi-lagi aku membuat Ken sedih.
Sesampainya di
rumah, aku langsung berganti pakaian dengan sebuah dress formal berwarna putih.
Kami berangkat menuju sebuah restoran keluarga rekan ayah yang sengaja
dipersiapkan untuk makan malam ini. Seorang lelaki dan seorang wanita menyambut
kami di pintu gerbang. Kami duduk dengan meja melingkar dengan 6 kursi. Kursi
disampingku masih kosong, mungkin ada seseorang lagi yang belum datang.
“Misaki,
mungkin kamu belum kenal dengan rekan ayah dan istrinya ini. Bapak ini Kurosawa
Kirie dan istrinya Kurosawa Minami.”
“Misaki yang
asli lebih cantik dari fotonya ya.” Ibu Minami tiba-tiba berbicara.
“Iya iya benar.
Yuya sudah membohongi kita.” Kami tertawa bersama-sama. Keluarga ini terasa
sangat menyenangkan dan hangat. Tiba-tiba terdengar suara deruman motor dan aku
merasa familiar dengan suara motor itu. Seperti suara motor Kei.
“Mungkin itu
anak saya.” Pak Kirie bangun dari duduknya dan pergi keluar. Ketika Pak Kirie kembali
masuk, aku kaget melihat sosok yang diberada di belakangnya, sosok yang aku
kenal, Kei. Aku benar-benar tidak bisa berkata apa-apa. Kei kemudian duduk
disampingku.
“Perkenalkan
ini anak saya, Kurosawa Keito.”
“Keito,
perkenalkan ini keluarga Tachibana. Itu Ibu Tachibana Rika, Pak Tachibana Yuya
dan anaknya Tachibana Misaki.” Kei hanya tersenyum.
Aku semakin
kaget ketika tahu kalau Keito adalah calon tunanganku yang kedelapan. Di dalam
daftar nama calon tunanganku yang ke delapan memang tidak ada foto yang
terlampir tapi aku tidak pernah menyangka kalau itu Kei. Selama makan malam ini
Kei tidak banyak berbicara, hanya sekedar menjawab pertanyaan saja. Ketika kami
hendak pulang, Kei meminta izin pada ayah untuk berbicara denganku. Dia
menarikku ke dekat motornya.
“Kenapa selama
makan malam kamu tidak berbicara padaku?”
“Tidak ada yang
perlu aku bicarakan denganmu.”
“Kenapa kamu
tidak pernah kembali ke rumah walau untuk menemui Ken?”
“Kamu sudah
mengusirku keluar jadi buat apa aku datang ke rumahmu? Aku bisa bertemu Ken
diluar rumahmu.”
“Misaki, aku
benar-benar tidak bermaksud mengusirmu.”
“Terserah kamu.
Aku sudah tidak peduli.” Aku meninggalkan Kei dan menghampiri mobil. Tapi Kei
menarikku kembali dan menyuruhku naik di motornya. Kei kembali meminta izin
kepada ayah untuk membawaku pergi. Ayah hanya tersenyum. Kei mengendarai
motornya dengan kencang. Dia memberhentikan motornya di sebuah taman.
“Misaki, kenapa
kamu seperti ini?”
“Ini semua
gara-gara kamu. Kenapa kamu tidak pernah jujur kalau kamu termasuk calon
tunanganku?”
“Aku tidak
pernah tahu masalah ini. Ayah baru memberitahu kalau aku punya calon tunangan
itu 2 hari sebelum aku menyuruhmu pergi. Aku tidak pernah mau tahu siapa
calonku itu karena aku berpikir aku sudah punya calonku sendiri. Tapi Ayah terus
saja mengancamku dengan mempertaruhkan kehidupan Ken dan pabrik yang ada di
Atami. Hari itu aku benar-benar merasa tertekan, aku pergi minum hingga mabuk
dan akhirnya aku tidak sadar mengusirmu keluar. Dan perlu kamu tahu, aku tidak
mengetahui calon tunanganku sebelum aku bertemu denganmu hari ini.”
“Kenapa kamu
menculikku waktu itu? Kamu belum mengenal aku kan?”
“Aku memang
tidak terlalu mengenalmu tapi temanku sangat mengenalmu. Dia pernah kamu tolak
cintanya dan dia menyuruhku menculikmu di hari itu. Katanya dia hanya ingin
memberikan balasan kepadamu atas penolakannya. Dia tidak terima seorang putri
manja seperti kamu menolaknya. Tapi anggapan putri manjanya ternyata salah
besar. Kamu jauh dari kata manja, hanya saja kamu seekor burung yang di dalam
sangkar.”
“Kamu juga
seekor burung di dalam sangkar. Tidak bisa terlepas dari ikatan ayahmu.”
“Iya iya. Aku
mengakuinya. Tapi jujur saja, ternyata tidak terlalu buruk menjadi burung di
dalam sangkar bila akhirnya aku akan bertemu denganmu seperti ini.”
“Maksud kamu?”
“Aku berniat
datang ke makan malam ini untuk menolak pertunangan. Tapi bila calonnya kamu,
apa boleh buat? Aku akan mengurungkan niat itu, aku menyukaimu lebih dari yang
aku tahu.”
“Tapi maaf,
kamu belum pasti menjadi calon tunanganku.”
“Kenapa?”
“Aku belum
menentukan siapa yang aku pilih dari semua calon-calonku.”
“Berapa
calon-calonmu semuanya?”
“8 orang
termasuk kamu.”
“Tidak apa. Aku
pasti akan menang melawan mereka.”
Aku hanya
tersenyum melihatnya. Kei membawaku pulang dan berhenti di depan rumahku.
“Kamu mau
masuk?”
“Tidak
sekarang. Nanti saja kalau aku sudah resmi menjadi pacarmu dan menjadi
tunanganmu.”
“Baiklah. Oh
iya, kamu membuat Ken khawatir. Jelaskan pada dia apa yang terjadi sebenarnya.”
“Baik tuan
putri. Salam buat calon nenek dan ayah mertua ya.”
Kei memakai
helmnya dan melambaikan tangan sebelum mengemudikan kembali motornya. Aku masuk
ke dalam rumah dan nenek sudah menungguku dengan wajah yang kesal.
“Jadi, selama
satu minggu itu kamu tinggal bersamanya?”
“Maaf, Nek.
Tapi kami tidak tinggal berdua. Ada Ken juga.”
“Dari semua
calon tunanganmu siapa yang kamu pilih?”
“Mungkin Keito,
Nek.” Aku menjawab dengan sedikit ragu.
“Apa kamu
yakin?” Wajah nenek semakin serius.
“Yakin.”
“Nenek belum
menyetujuinya. Nenek ingin ada pertemuan khusus dengan dia. Ajak dia makan
malam disini besok.”
“Baik, Nek.”
Lagi-lagi aku tidak bisa menolak perintah nenek. Apa yang harus aku lakukan?
Apa yang harus aku katakan pada Kei? Dan aku lupa meminta email Kei.
Akhirnya,
setelah pulang sekolah aku memutuskan pergi ke rumah Kei. Aku menekan bel dan
Ken membukakan pintu untukku. Rasanya sedikit aneh ketika masuk ke rumah Kei.
Dulu aku tidak memiliki hubungan apapun dengan Kei tapi saat ini Kei adalah
salah satu calon tunanganku dan mungkin Kei adalah calon yang aku pilih.
“Ken, Kak Kei
mana?”
“Kak Kei? Kalau
tidak salah saat ini sedang di kampus.”
“Kampus?”Oh iya
aku lupa, di data calon tunanganku tertulis kalau Kei adalah mahasiswa tingkat
3 fakultas Administrasi dan Informasi di Universitas Shizuoka. Dan Kei juga
bekerja di perusahaan sebagai CEO peruasahaan saat ini.
“Kak Misaki?”
Ken menyadarkan aku dari lamunanku.
“Eh Ken.”
“Kak Misaki
menunggu Kak Kei?”
“Iya. Nenek
kakak mengundang Kak Kei untuk makan malam. Ken juga diundang.”
“Asyik. Kenapa
tidak kakak hubungi saja Kak Keinya?”
“Kakak lupa
meminta email Kak Kei.”
“Kalau tidak
salah aku menuliskan email dan nomor telepon Kak Kei di buku catatanku. Tunggu
sebentar aku cari dulu ya.” Ken pergi ke kamarnya dan kemudian keluar dengan
membawa sebuah buku.
“Ini Kak. Ada.”
Aku mencoba menghubungi nomor yang tertulis di buku itu. Suara Kei terdengar di
seberang sana.
“Halo, ini
Keito. Siapa ini?”
“Kei, ini
Misaki.”
“Aa, calon
tunanganku. Ada apa?”
“Nenek
mengundang kamu makan malam.”
“Oh iya? Aku
lulus jadi calon tunangan kamu?”
“Tidak tahu. Sekalian
kamu ajak Ken ya.” Ada rasa panas yang terasa di pipiku. Mungkin ada rona merah
di pipiku.
“Iya tuan
putriku. Kamu lagi dimana?”
“Di rumah
kamu.”
“Eh? Ya sudah
aku pulang sekarang ya. Aku mau ketemu kamu.”
“Tidak tidak.
Aku sudah ditunggu nenek di rumah.” Aku langsung mematikan teleponnya. Ken yang
melihatku salah tingkah hanya tersenyum. Aku berpamitan kepada Ken dan
secepatnya lari ke dalam mobil.
Kei dan Ken
tiba di rumah sekitar jam 7. Kei memakai pakaian semi formal. Rambutnya yang
kemarin panjang kini dipotong rapi. Kei membuatku salah tingkah. Aku
mempersilahkan keduanya masuk. Nenek menunggu Kei di ruang tengah. Nenek
mengajak Kei berbicara dan aku membawa Ken ke kamarku, mengajak dia bermain di
kamarku. Walau sebenarnya aku penasaran dengan obrolan yang dibicarakan nenek
dengan Kei.
Ketika aku dan
Ken sedang asyik bermain game, pelayan memberitahuku kalau nenek menunggu kami
di meja makan. Kami makan malam tanpa ayah. Ayah belum pulang dari kantor,
masih ada rapat. Selesai makan, Kei pamit kepada nenek dan aku mengantar Kei
dan Ken sampai ke pintu gerbang.
Semenjak makan
malam itu, Kei sering menjemputku dari sekolah. Dan nenek memperbolehkan aku
keluar bersama Kei dan Ken. Hari ini, Aku pulang dari rumah Kei dan tiba di
rumah sekitar pukul 6. Nenek menungguku di kamarku.
“Misaki, nenek
ingin bertanya serius kepada kamu. Apakah kamu benar-benar ingin melanjutkan
hubungan kamu dengan Kei?”
“Selama nenek
memperbolehkannya.” Aku menjawab dengan sedikit rasa takut.
“Nenek punya
satu syarat, kamu harus mau nenek tunangkan.”
“Tapi dengan
Kei kan, Nek?”
“Iya. Dan acara
pertunangannya adalah hari Sabtu.”
“Hari
Sabtu? Bukannya hari Sabtu itu besok?”
“Iya.”
“Tapi Nek...”
“Nenek sudah
bicara dengan Kei, ayah kamu dan keluarga Kei. Dan semuanya setuju. Jadi
bagaimana dengan kamu?”
“Kalau semua
sudah setuju aku tidak mungkin menolak kan?”
“Tentu saja.”
Nenek hanya tersenyum sambil keluar dari kamarku.
Aku benar-benar
merasa bahagia saat ini. Nenek menyetujui hubunganku dan akan mengadakan acara
pertunanganku besok. Memang awalnya aku merasa menjadi seekor burung di dalam
sangkar yang terkekang. Tapi saat ini, aku menjadi seekor burung di dalam
sangkar yang bahagia. Aku mempunyai keluarga yang menyayangiku, seorang
tunangan yang mencintaiku, keluarga tunanganku yang baik dan aku bersyukur
mempunyai semuanya.
FINE~
0 komentar:
Posting Komentar