Senin, 22 Agustus 2011

my hope become real part 1

Diposting oleh thewins di 22.33
My Hope Become Real 

“When you have lost hope, you have lost everything. And when you think all is lost, when all is dire and bleak, there is always hope.” 
― Pittacus LoreI Am Number Four



NN
Hari ini, 25 Januari 2010 aku ikut pindah bersama keluargaku. Rumahku yang baru memang masih satu kota dengan rumahku yang lama. Hanya saja, rumahku yang baru berada di tengah kota. Aku keluar dari rumah menuju tempat yang aku pikir menarik, sebuah taman di puncak bukit. Ketika perjalanan menuju rumah, aku melihatnya dari mobil. Mungkin ketika sore hari seperti ini  banyak orang yang berlalu lalang di taman itu. Aku menyusuri jalan raya untuk sampai ke taman tersebut.  Tapi tiba-tiba sebuah sepeda motor melintas di depanku ketika aku menyebrang . Seseorang berlari menghampiriku.
“Apakah kamu terluka?”tanyanya tiba-tiba.
“Ng...”aku tak sanggup menjawabnya dan saat itu pula kesadaranku hilang.
KS
Aku telah menemuinya, dia bersama calon pendamping hidupnya. Aku merasa hancur. Ternyata cintaku ini berakhir sampai disini. Aku benar-benar merasa ingin mati saat itu juga. Aku berjalan menuju rumah dengan pikiran yang entah kemana. Aku baru tersadar ketika sebuah kecelakaan terjadi di hadapanku.
“Apakah kamu terluka?”
“Ng...”dia tidak menjawab. Kakinya berdarah, mungkin ada yang patah.
Aku membawanya ke rumah. Dia tidak membawa pengenal apapun. Jujur saja, dia lucu, kecil, manis dan mungkin banyak orang yang menyukainya. Aku akan menjaganya hingga dia sembuh tapi sebelumnya aku akan mencari keluarganya.
NN
Ketika aku membuka mataku, aku merasa asing dengan ruangan di sekitarku. Ruangan ini berdinding biru dengan dihiasi gambar-gambar aneh, seperti tengkorak-tengkorak kecil. Di samping jendela tepatnya di sampingku ada sebuah meja yang dipenuhi dengan barang-barang berbentuk tengkorak seperti gambar di dinding. Di beberapa tempat lainnya pun, seperti di lemari, belakang pintu aku melihat gambar yang sama. Tiba-tiba pintu terbuka sedikit demi sedikit dan aku melihat seorang lelaki tegap masuk ke kamar. Lelaki itu semakin mendekat.
“Bagaimana keadaanmu kecil? Kamu pasti kaget kenapa kamu berada disini kan?” pertanyaannya menjawab pertanyaan yang ada di benakku saat ini.
“...” aku tak bisa menjawab.
“Maaf ya. Kamu tak usah takut, ini rumahku kok. Kamu tak membawa identitas pengenal satupun. Jadi aku tak bisa membawamu pulang.”
Lelaki ini baik. Itu tanggapan pertamaku terhadapnya. Hampir 2 minggu aku tinggal di rumahnya. Dia mengobati lukaku dan membiarkan aku tinggal di rumahnya hingga aku sembuh. Dia mencari informasi tentang keluargaku. Dia sudah memberitahu keluargaku tentang keadaanku dan dia meminta izin untuk mengurusku.

Dia mengajakku pergi ke tempat favoritnya, sebuah sungai yang lumayan jauh dari rumahnya. Dia memboncengku dengan sepedanya. Kami duduk di rerumputan pinggir sungai. Beberapa orangpun ada yang duduk disana. Pantas saja, tempat ini nyaman.
“Kecil, aku mau kamu menceritakan sebuah cerita kepadamu. Kamu mau mendengarnya kan?”
“Ng...”wajahnya sedih. Aku tahu, mungkin ini cerita yang menyedihkan tentangnya.
“Aku menyayangi seorang wanita dan kami sudah berhubungan 3 tahun lebih semenjak aku kelas 3 SMA. Kami pertama kali bertemu di dalam bis. Ketika itu, dompetnya jatuh dan aku mencarinya di sekolahnya. Sejak itu, kami sering membuat janji bertemu di pemberhentian bis. Dia selalu bersama teman-temannya. Aku ngga menunggu lama untuk mendapatkan jawaban ya dari dia ketika aku mengungkapkan perasaanku. Setelah lulus SMA, aku melanjutkan kuliah di Perguruan Tinggi jurusan Seni, sedangkan dia memilih untuk bekerja sebagai penjaga toko di sebuah toko kue. Dia memang sangat menyukai kue dan sejenisnya. Kami berjanji untuk membangun sebuah kafe dengan galeri di dalamnya yang menampilkan hasil karya-karyaku. Tapi sekarang, dia telah memiliki pasangan hidup. Hari ini, tepat hari pernikahannya.” Dia berhenti menceritakannya, aku melihat ada air mata di pelupuk matanya. Air mata yang hendak jatuh tapi dia usap dengan tangannya. Aku pikir dia benar-benar mencintainya. Tidak mungkin seseorang bisa bercerita seperti ini dan memiliki ekspresi yang menyedihkan seperti itu. Ingin rasanya bila dia itu air matanya itu untukku.
KS
Aku menceritakannya padanya. Tak ada komentar darinya. Tapi memang begitu hal yang seharusnya, tak ada kata yang terucap dari mulutnya. Sebenarnya ada sedikit rasa kecewa di hatiku tentangnya. Kenapa dia seperti ini? Andai saja dia bukan seperti ini. andai saja dia sama sepertiku. Tapi ini lebih baik daripada tak ada yang menemaniku dan tak ada yang bisa mendengarkan ceritaku.
Bulan malam ini benar-benar indah. Aku mengajaknya ke beranda untuk melihat bulan lebih jelas. Aku memberitahunya bahwa melihat bulan dan benda lain yang di langit adalah hal yang aku sukai.  
Lukanya sudah sembuh 100% dan besok aku berniat untuk mengantar dia pulang ke keluarganya. Kakakku sudah mencarikan alamat keluarganya dan aku pernah mengunjungi rumahnya untuk meminta izin mengurusnya. Letaknya tak jauh dari rumahku.
NN
Setelah beberapa hari aku berada di rumahnya dan berada di bawah pengawasannya aku sembuh 100%. Aku banyak menyusahkannya terutama ketika aku merusak beberapa barang dan karyanya. Sekarang aku bisa pulang ke rumah dan bisa bermain dengan teman-temanku lagi. Dia mengantarku pulang ke rumah dan meminta keluargaku untuk menjagaku. Sungguh bahagia rasanya. Baru pertama aku merasa ada lelaki sebaik dia.
Kini, aku menjalani hidupku kembali bersama keluargaku. Hidupku kembali seperti waktu sebelum bertemu dengannya. Orang yang membantu dan mengobatiku. Aku ingin berterimakasih. Aku ingin membalas budi baiknya. Tanpa dia mungkin aku tak bisa sehat kembali. Tanpa dia mungkin lukaku tak akan ada yang mengobatinya. Tapi sayangnya, aku tidak tahu siapa namanya. Aku juga tidak mengetahui alamatnya. Tak ada yang aku tahu tentang dia selain sifat dia yang baik.
KS
Akhirnya aku berpisah dengannya. Sifatnya yang aneh dan tubuhnya yang kecil mungkin akan membuat aku merindukannya. Walaupun aku hanya hidup dengannya beberapa hari saja, dia sudah membantuku untuk sedikit melupakan masalahku dengan wanita itu. Sekarang, aku akan hidup di tempat ibu selama beberapa bulan. Kesehatan ibu sedang terganggu dan aku tak mungkin meninggalkannya sendiri. Kakak tak mungkin bisa menemani ibu karena dia selalu bepergian ke luar kota dan sibuk mengurus perusahaan keluarga.
1 tahun kemudian
NN
Ternyata waktu berlalu begitu cepat, tak terasa sudah 1 tahun setelah kejadian itu berlangsung. Kejadian aku ditolong olehnya. Aku telah mencarinya selama ini tanpa menghasilkan informasi yang benar-benar berarti. Informasi yang aku dapat tentang tempat dia merawatku ternyata tempat itu sudah kosong. Setelah aku sehat dan kembali ke rumah waktu itu, dia pun keluar dan pindah dari tempat itu. Dan sekarang tak ada seorang pun yang tahu keberadaannya. Aku benar-benar putus asa dibuatnya.
Hari ini, 25 Januari 2011 aku berniat untuk pergi ke taman itu. Tempat yang aku tuju 1 tahun lalu. Ketika berada di jalan raya tiba-tiba sebuah sepeda motor melintas dengan kecepatan tinggi dan menabrak orang di depanku. Kejadian ini benar-benar seperti de javu bagiku. Pengendara motor itu melarikan diri dan meninggalkan orang yang terluka itu di jalan raya. Aku menghampiri orang itu dan kaget melihat orang tersebut. Dia, ya dia. Orang yang selama ini aku cari. Orang yang benar-benar aku harapkan untuk bertemu kini ada di depanku. Ada dengan keadaan yang benar-benar menyedihkan. Berlumuran darah. Aku benar-benar bingung harus berbuat apa. Aku hanya bisa berteriak dengan caraku sendiri. Cara yang mungkin membuat orang kaget melihatnya. Orang-orang menhampiriku dan kemudian membawa dia pergi. Mungkin ke rumah sakit. Aku dibawa pulang oleh seseorang yang tidak kukenal, dia membawaku tepat ke rumahku karena saat ini aku membawa pengenal dimana aku tinggal. Pesan dari dia yang masih aku ingat saat terakhir kami bertemu.
“Kecil, ketika kamu keluar dari rumah, kamu harus bawa pengenal ya!”
KS
Aku pulang ke rumahku setelah hampir 1 tahun aku tinggal bersama ibu. Sebenarnya ibu tak mengijinkanku untuk kembali ke rumah tapi aku ingin hidup mandiri. Walaupun memang uang yang kupakai untuk kehidupanku bukan sepenuhnya dari hasilku sendiri. Aku berjalan menuju tempat favoritku dengan membawa sebuah kanvas dan peralatan lukisku. Sudah lama aku tidak melukis di tempat itu. Tapi ketika aku hendak meyebrang jalan, ada sebuah sepeda motor berkecepatan tinggi menabrakku. Aku tidak tahu apa yang terjadi setelahnya.
NN
Aku ingin bertemu dengannya. Aku ingin membantunya sama seperti dia membantuku dulu. Andai, andai aku bisa melakukannya. Tapi aku tak akan pernah bisa melakukannya. Aku ingin diberi kesempatan untuk bisa membantunya walaupun hanya satu kali dan harus mengorbankan nyawaku.
Sekian hari aku berfikir untuk mencari jalan bagaimana membantu dia. Akhirnya aku putuskan pergi ke rumah sakit. Aku mendengar dari keluargaku bahwa dia di rawat di RS Kota. Rumah sakit yang besar dan aku tak tau dia dirawat dimana.
Aku pergi ke RS Kota saat malam hari ketika keluargaku telah terlelap tidur dan begitu pun orang-orang di rumah sakit. Memang tak semua orang tidur, tapi tak apalah. Orang-orang yang berkeliaran di malam hari lebih sedikit daripada siang hari dan hanya sedikit orang yang menyadari keberadaanku.
Aku melihatnya. Dia ada di dalam ruangan ini. Ruangan yang dipenuhi dengan alat-alat kedokteran dan bau obat-obatan. Ruangan yang membuat aku takut melebihi takut ketika berada dikamarnya saat itu. Aku mencoba masuk ke ruangan itu dan berhasil. Aku melihatnya terhubung dengan alat-alat kedokteran. Di tangannya terpasang infus, di hidungnya terpasang selang oksigen, di kepala dan tubuhnya terbalut perban yang tebal. Menyedihkan.
Aku tertidur di ruangannya. Dan terbangun ketika ada suara orang berbincang di depan pintu ruangannya.
“Bagaimana perkembangan dia, Dok?” aku mengenali suara itu. Suara kakaknya dia. Kakaknya beberapa kali mendatangi rumah dia ketika aku masih berada disana.
“Saya masih belum tahu. Mungkin dari hasil laboratorium yang sebentar lagi keluar baru bisa diketahui.”
“Tolong sembuhkan adik saya, Dok.”
“Maaf,Dik. Saya tidak dapat menyembuhkan seseorang. Saya hanya bisa membantu mengusahakan kesembuhannya. Yang menyembuhkannya tetap  Yang Berkuasa.”
“Saya mengerti, Dok. Tapi tolong usahakan yang terbaik untuk adik saya.”
“Pasti. Saya pasti mengusahakan yang terbaik untuknya.”
Suara di luarpun sepi kembali. Aku membuka pintu perlahan-lahan dan setelah menunggu lorong tak ada orang, aku berlari keluar. Aku pulang ke rumah dan berniat untuk beristirahat sejenak. Tapi, aku tak bisa menutupkan mata, aku masih teringat pada dia. Sesosok lelaki yang terbaring lemah di rumah sakit.
Akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke rumah sakit tapi sebelumnya aku akan mencari informasi mengenai sesosok orang yang bisa membantu dalam menyelesaikan masalah ini.
Sebuah gubuk di depanku terlihat tua dan menyeramkan. Aku mencoba mengetuk pintu tersebut tapi ternyata pintu itu terbuka sendiri. Aku masuk ke dalam gubuk tersebut dan melihat seorang nenek tua sedang duduk di depan perapian.
“Apa yang kamu mau?”
“Aku ingin berubah.”aku berbicara lantang dengan bahasaku sendiri.
“...”
“Apa kamu mengerti dengan apa yang aku katakan?”
“Ya tentu saja. Banyak yang seperti kamu datang kemari. Apa tujuanmu berubah?”
“Aku ingin bertemu dengan seseorang yang telah menolongku. Aku ingin membalas budinya.”
“Apa kamu belum bertemu dengannya?”
“Sudah. Aku sudah menemuinya tapi aku tak berani menampakkan wajahku.”
“Kenapa?”
“Anda pasti mengerti kenapa aku tidak berani.”
“Ya. Saya mengerti. Saya hanya menegaskan saja. Apa kamu benar-benar ingin berubah dan tak akan menyesal nantinya? Selain itu kamu harus menanggung dosa yang kamu dapatkan nanti.”
“Aku akan menanggung semuanya sendiri. Semua memang keinginanku.”
“Oke. Saya akan membantu kamu. Tapi sebelumnya kamu harus melakukan beberapa persyaratan.”
“Baik. Apa persyaratannya?”
“Kamu akan mengetahuinya nanti. Sekarang lebih baik kamu pergi menemuinya terlebih dahulu sebelum kamu benar-benar berubah.”
“Baik.”
Aku pamit kepada nenek tua itu dan pergi ke rumah sakit untuk menemui dia. Dia masih terbaring lemah di tempat tidurnya.  Sebelum masuk ke ruangannya, aku tak sengaja mendengar obrolan dokter dan kakak dia. Hasil laboratoriumnya sudah keluar dan meyatakan bahwa dia mungkin akan mengalami kelumpuhan yang mengakibatkan tidak bisa berjalan. Tapi bila ada keajaiban dan semangat dari dia untuk sembuh, dia akan bisa berjalan seperti sediakala. Aku berdiri di depan pintu ruangannya, memikirkan betapa malangnya nasib dia. Niatku untuk membantu semakin bulat. Aku masuk ke dalam ruangan dan berniat untuk berpamitan padanya sebelum aku benar-benar berubah.
“Tunggu aku ya. Sebentar lagi aku akan menemuimu dengan sosok yang berbeda. Aku ingin berterimakasih kepadamu. Aku ingin bersamamu, menemanimu dalam duka ini. Tapi tolong jangan lupakan aku yang sekarang.”
Aku berlalu dari ruangannya. Semakin lama aku disana maka semakin berat aku meninggalkannya walaupun hanya sementara waktu.
Aku kembali ke gubuk nenek tua itu. Dia sudah menunggu kedatanganku. Mukanya sedikit berseri dan kerutan di keningnya berkurang satu. Itu membuat sedikit rasa takutku padanya berkurang.
“Apakah kamu sudah menemuinya?”
“Iya tapi rasanya berat meninggalkannya.”
“Tenanglah. Sebentar lagi kamupun akan bersama dan bisa terus menemaninya sampai akhir batas waktu.”
“Maksud anda apa? Batas waktu apa?"
“Batas waktu. Ya itu, salah satu persyaratan yang mesti kamu setujui. Batas waktu dari perubahan ini adalah 2 bulan. Apakah kamu sanggup hidup bersama hanya 2 bulan saja?”
“Baik. Aku sanggup. Aku akan menggunakan waktu ini sebaik mungkin.”
“Bagus kalau begitu. Berusahalah kamu. Oh ya, selain itu ada syarat lain yaitu setelah batas waktu kamu habis nanti, ingatan dia tentang kamu akan dihapus. Baik ketika kamu menjadi sosok yang sekarang maupun sosok yang nanti.”
“Apa? Dia akan melupakan aku?”
“Ya begitulah. Ini adalah syarat yang kedua dan terakhir.”
“...”
“Bagaimana? Kamu bersedia tidak?”
“Ya, saya bersedia. Tak apa dia kehilangan ingatan tentang saya pun, yang penting dia selamat dan aku bisa berada di sampingnya.”
“Baik. Kapan kamu mau berubah?”
“Saat ini juga. ”
“Tutup mata kamu dan buka ketika hitungan ke-10. Hitung dalam hati saja. ”
Aku menutup mata seperti apa yang dituturkan nenek tua itu. Dalam hitungan ke-10, aku membuka mata. Aku memperhatikan seluruh badanku. Kini aku sudah berubah dan itu berkat bantuan nenek tua itu. Aku teringat nenek tua itu, aku mencarinya ke seluruh tempat di gubuk itu tapi nenek itu tak diketahui keberadaannya. Aku menyerah dan memutuskan untuk pulang ke rumah.
Sesampainya di depan rumah, aku memencet bel untuk pertama kalinya. Dan ternyata ‘kakakku’ yang membuka pintu untukku.
“Maaf, anda siapa ya? Ada keperluan apa?”
“Ini aku. Nezumi.” Ya benar, aku Nezumi. Nakagawa Nezumi. Keluargaku memberikan nama itu padaku .
“Apa? Maaf,  tapi kami tidak mengenal kamu.”
“Ini aku. Nakagawa Nezumi, Kak.”
“Tapi Nezumi kami tidak seperti kamu.”
“Ya aku tahu. Aku sudah berubah. ”
“Apa maksud kamu? Nezumi kami berubah?”
“Iya Ka. Nezumi adik kakak adalah aku.”
“Baik baik. Sekarang kamu masuk dan jelaskan kepada semua.”
Akupun masuk bersama Kakak. Seluruh keluargaku sedang berada di rumah. Mereka mencemaskanku yang tak kunjung pulang dari hari kemarin. Sebenarnya aku pulang tapi tak ada orang yang tahu kepulanganku. Aku menjelaskan apa yang terjadi padaku. Awalnya mereka memang tak menerima alasan aku berubah tapi mereka tak bisa berbuat apa-apa sekarang. Aku sudah terlanjur berubah. Mereka hanya bisa membantu dan mendukungku. Keluargaku sebenarnya merasa sedikit kecewa atas perbuatanku yang satu ini. Mereka merasa sedikit tersinggung. Aku berubah hanya demi dia bukan demi keluarga yang telah hidup lama bersamaku. keluarga yang mengurusku selama ini, yang mengganggapku sama dengan keadaan mereka. Ayah, ibu, dan 2 kakakku. Aku adalah anak bungsu dari keluarga ini. Anak perempuan satu-satunya. Dan anak satu-satunya yang keadaannya berbeda.
 Aku bersikeras untuk pergi ke rumah sakit saat itu juga, tapi ibu benar-benar mengkhawatirkanku. Ibu terlihat pucat dan kurang tidur. Aku tak ingin membuat ibu semakin cemas. Dan akhirnya aku memutuskan untuk beristirahat terlebih dahulu. Nanti sore aku akan pergi ke rumah sakit menengoknya.
Aku masuk ke ruangannya dengan sedikit rasa gugup. Aku duduk di samping tempat tidurnya. Sama seperti semalam, keadaannya belum ada perubahan. Tak terasa setitik air mata jatuh dari pelupuk mataku.
“Bangunlah. Jangan seperti ini. Aku ingin kamu seperti dulu lagi. Bangun!” Aku benar-benar tak tahu lagi. air mataku benar-benar mengalir sekarang. Aku tak menyadari suara pintu terbuka.
“Siapa kamu?” tanya seorang perempuan setengah baya yang belum pernah aku kenal.
“Saya?”aku bingung harus menjawab apa. Aku siapanya dia?
“Kamu siapa?” tanya wanita itu lagi.
“Sa..ya.. temannya.”
“Oh temannya ya. Saya ibunya Shin. Kawamura Risa. Nama kamu siapa?” Nada suaranya melembut. Aku tahu sekarang nama dia. Kawamura Shin.
“Nama saya Nakagawa Nezumi.”
“Nezumi. Nama yang cantik ya sama seperti orangnya.”
“Ah Tante.” Baru pertama ada yang mengatakan aku cantik.
“Oh iya. Kamu temannya waktu dimana ya?”aku harus jawab apa? Aku benar-benar tidak tahu.
“Di Universitas.”
“Oh begitu. Kamu satu tingkat dengan dia?”
“Tidak, Tante. Saya dua tahun di bawahnya.”
“Pantas saja ya. Kamu kelihatan kecil. Jujur saja, awalnya saya tidak menyangka kamu mahasiswi.”
“Ah lagi-lagi seperti itu. Dulu ketika bertemu pertama kali dengan Shin sayapun dipanggil kecil olehnya. ”
“Oh ya?”
“Iya Tante. Tante, boleh saya bertanya?”
“Iya, kenapa?”                                                     
“Apa boleh saya ikut menjaga Shin disini?”
“Eh?”
“Saya ingin menemani dia sama seperti dulu dia menemani saya.”
“Menemani kamu?”
“Iya, Tante. Dulu Shin pernah menolong saya dan dia menemani saya hingga sembuh.”
“Boleh saja. Tapi bagaimana dengan keluarga kamu dan kuliah kamu?”
“Tak apa Tante. Saya sudah meminta izin untuk menjaga Shin. Selain itu, saya sedang mengambil cuti kuliah. ”
“Oh begitu. Baiklah. Kamu jangan lupa jaga kesehatan kamu juga ya.”
“Baik, Tante. Terimakasih.”
“Jangan berterimakasih kepada Tante. Harusnya Tante yang berterimakasih kepada kamu. Ya sudah, Tante akan pulang dulu. Besok pagi tante kesini.”
“Iya. Hati-hati di jalan.”Aku mengantar ibunya sampai depan ruangan. Ibunya pulang bersama kakaknya Shin. Aku kembali menghampiri Shin. Duduk di sampingnya dan memperhatikan wajahnya Shin. Sudah lama rasanya tidak melihatnya tidur seperti ini. Aku menggenggam tangannya yang hangat dan menempelkannya di pipi. Jujur aku tak sanggup menahan air mata untuk tidak mengalir.
Hari-hari terus berlanjut, sudah  dua minggu aku berada disini menggantikan ibunya Shin. Ibunya Shin hanya datang pada sore hari sepulang kerja. Dia ternyata seorang pengacara terkenal. Lagi-lagi aku tak pernah mengetahuinya. Betapa aku tak tahu apa-apa tentang Shin dan keluarganya. Tapi, sedikit demi sedikit aku tahu tentangnya. Shin tinggal sendiri sejak SMA. Kakaknya yang bekerja di perusahaan keluarga datang menjenguknya sesekali. Begitupun dengan ibunya. Ayah Shin sudah meninggal sejak dia SMP.
Dokter masih belum bisa memberikan informasi yang pasti tentang Shin. Keadaan Shin masih sama seperti ketika dia dibawa ke rumah sakit. Dokter mengatakan yang bisa diharapkan sekarang hanya keajaiban saja. Keajaiban yang bisa membuat dia sembuh. Dokter sudah berusaha semampunya dalam menangani Shin.
Malam semakin larut, cahaya bulan menerobos masuk ke jendela yang sengaja tirainya aku buka. Aku ingin Shin melihat bulan malam ini. Bulan yang sama seperti tahun lalu ketika aku melihat bersamanya.
“Shin, bangun. Kamu sudah terlalu lama begini. Lihatlah, Bulan menatapmu. Bulan merindukan kamu. Kamu sangat suka bulan kan? Ayo bangun!”
Lagi-lagi aku menangis. Ternyata aku lemah tanpa dia. Aku beranjak ke toilet untuk membasuh muka, aku tak ingin mataku terlihat sembab.

TBC ~

0 komentar:

Posting Komentar

 

Life is an Adventure Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea